Cilacap (ANTARA News) - Ratusan penganut Kejawen dari berbagai wilayah di Kabupaten Cilacap menggelar ritual jalan kaki menuju makam Bonokeling di Desa Pekuncen, Banyumas, Kamis.

Dari pantauan di Desa Kalikudi, Kecamatan Adipala, Cilacap, sebelum menggelar ritual jalan kaki, para penganut Kejawen yang mengenakan pakaian adat Jawa berkumpul di "pasamuan" (tempat pertemuan penganut Kejawen, red.), baik di "pasamuan lor" maupun "pasamuan kidul".

Selanjutnya, mereka berjalan tanpa menggunakan alas kaki menuju makam Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Desa Kalikudi dengan melalui sejumlah ruas jalan.

Selain mengenakan pakaian adat, mereka juga membawa berbagai perbekalan seperti beras dan kelapa yang dipanggul menggunakan pikulan oleh kaum laki-laki maupun digendong oleh kaum perempuan.

Sepanjang perjalanan, mereka melakukan tapa bisu atau dilarang berbicara.

Sesekali mereka beristirahat di sejumlah persimpangan jalan guna menunggu rombongan dari desa lain seperti Doplang, Adiraja, Adireja Wetan, Adireja Kulon (Kecamatan Adipala) serta sejumlah desa di Kecamatan Kroya dan Maos.

Memasuki Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, jumlah peserta ritual jalan kaki semakin banyak karena mereka bergabung dengan penganut Kejawen lainnya.

Salah seorang penganut Kejawen, Karya (70) mengatakan bahwa ritual jalan kaki ini rutin digelar sehari menjelang Jumat terakhir di bulan Ruwah (kalender Jawa, red.).

"Besok (Jumat, red.), mereka menggelar ritual `unggahan` atau `nyadran` di Bale Agung, kompleks makam Bonokeling. Biasanya, saya ikut ritual jalan kaki, namun sekarang kesehatan saya sudah tidak memungkinkan lagi untuk berjalan jauh," katanya.

Menurut dia, ritual "unggahan" ini biasa digelar menjelang bulan Pasa (kalender Jawa, red.) atau Ramadan (kalender Hijriah, red.).

Sesampainya di kompleks makam Bonokeling, kata dia, para penganut Kejawen akan "muji" (semacam zikir, red.) sebagai wujud permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Mahaesa, yang digelar pada Jumat mulai pukul 00.00 WIB hingga 04.00 WIB.

Sementara perbekalan yang mereka bawa, lanjut dia, akan dimasak pada hari Jumat (6/7) di sekitar makam Bonokeling.

"Sebagian kaum laki-laki akan memasak gulai kambing, lainnya membersihkan kompleks makam. Sementara kaum perempuan hanya duduk sambil menunggu masakan matang," katanya.

Informasi yang dihimpun, tradisi "unggahan" ini awalnya digelar setiap menjelang musim tanam pada bulan Ruwah. Namun setelah masuknya ajaran agama Islam, kegiatan ini lebih dikenal sebagai "sadranan" karena digelar setiap menjelang bulan Pasa atau Ramadan di kompleks makam Bonokeling.

Kendati demikian, hingga saat ini belum diketahui secara pasti siapa sebenarnya sosok Bonokeling yang dimakamkan di Desa Pekuncen.

Konon, hanya para sesepuh atau tetua adat Bonokeling yang mengetahui siapa sejatinya sosok Bonokeling. Akan tetapi mereka tidak boleh menceritakannya kepada masyarakat umum.

Masyarakat hanya mengetahui bahwa Bonokeling merupakan sosok yang berasal dari Kadipaten Pasir Luhur yang berada di bawah Kerajaan Padjajaran atau Galuh-Kawali.