Tugas seorang Account Representative pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sungguhlah banyak. Mereka mengawasi kepatuhan wajib pajak, membimbing dan menghimbau serta member layanan konsultasi teknik perpajakan kepada wajib pakak, menyusun profil wajib pajak, menganalisis kinerja wajib pajak, dan merekonsiliasi data wajib pajak.




Itu tugas utama mereka. Masih ada tugas ad hoc bagi mereka dari pimpinan, di samping membuat laporan baik rutin maupun tidak rutin.




Fungsi ini adalah bagian dari modernisasi layanan pajak yang menjadi penghubung antara wajib pajak dan Ditjen Pajak.




Kehadiran mereka dapat meminimalkan distorsi informasi, apalagi mereka diembani tugas besar mesti menyediakan jawaban apapun dari pertanyaan wajib pajak berkenaan dengan masalah-masalah pajak.




Efektifkah fungsi account representative ini? Pada beberapa hal iya, tetapi pada beberapa hal lain mungkin masih memerlukan pemikiran-pemikiran lagi.




Di antara yang berpandangan demikian adalah Suroso Imam Zadjuli, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya.




Suroso lebih menyoroti kesenjangan perhitungan pajak antar daerah satu dengan daerah lain, tepatnya dari daerah ke kota besar yang dipandangnya semakin sedikit laporan pajak yang dibuat ketika tempat semakin dekat ke kota besar.




"Perhitungan pajak dengan menghitung pajak sendiri ternyata makin ke kota besar, makin sedikit yang dilaporkan. Sebaliknya, semakin ke kota kecil maka semakin banyak yang dilaporkan," kata Suroso.




Dia menyebut di kota besar, pajak yang dilaporkan paling banter 60-70 persen. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian pengusaha di negeri ini menerbitkan beberapa versi buku pajak.




Pada buku yang diperuntukan sebagai laporan untuk mencari dukungan dana, maka untungnya dibesarkan. Sebaliknya, untuk buku laporan perseroan dibuat apa adanya. Lalu, jika untuk kepentingan pajak keuntungan perseroan ini diperkecil.




Namun mengingat pemerintah juga memikul fungsi kontrol yang ketat, maka yang kemudian muncul adalah negosiasi akal-kalan antara oknum pajak dengan penarik pajak.




Mereka yang berperilaku curang akan sekuat tenaga menghindari kewajiban pajak yang dianggapnya terlalu besar. “Dari pada membayar pajak besar, maka lebih baik kewajiban sebesar itu dibayarkan lebih kurang dari itu dengan cara ‘menegosiasikan’ pajaknya,” ujarnya.




"Sampai akhirnya nanti diputuskan jumlah kewajiban pajak itu setengahnya saja, sedangkan yang setengah lagi dibagi dua (antara wajib pajak dan si oknum pajak)," kata Suroso memberi analogi.




Situasi demikian membuat biaya ekonomi menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya, selain pula menciptakan dampak sosial. Keadaan ini menjadi sangat rumit terutama pada pemerintah-pemerintah daerah yang mengandalkan betul pendapatan pajak.




Kebutuhan dan praktik kolusi pada segelintir penyelenggara administrasi nasional dan daerah akan memaksa pemerintah daerah menaikkan pajak dengan semaunya.




Situasi ini membuat wajib pajak menjadi enggan membayar pajak, apalagi memenuhi kewajiban pajak lainnya seperti pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Keadaan ini bisa saja terjadi karena tiadanya informasi yang cukup yang sampai kepada wajib pajak. Untuk itu, Ditjen Pajak mesti membangun sistem komunikasi yang baik dengan wajib pajak guna membuat sistem pengumpulan pajakberjalan efektif.




Suroso mencoba mengajak Ditjen Pajak meletakkan dahulu prioritas-prioritas kebijakannya pada tempat yang tinggi, yang efektivitas pengumpulan pajak. Dan ini bisa dimulai dari adanya fungsi seperti yang disandang Account Representative (AR).




Menurutnya, kita bisa belajar dari masa lalu. Di era yang lalu, ada pembagian wilayah pemungutan pajak, yaitu orde 1 untuk ibukota negara, orde 2 untuk ibukota provinsi, dan orde 3 untuk ibukota kotamadya/kabupaten.




"Makin besar orde ibukotanya, maka laporan perpajakannya makin rendah. Sebaliknya, makin ke kota kecil makin bagus laporan perpajakannya," sambung Suroso.




Untuk menyeimbangkan kesenjangan pelaporan pajak seperti itu, Ditjen Pajak memang perlu satu fungsi khas seperti AR, dan terobosan lain yang bisa saja menyangkut instrumen atau alat.




Di antara alat itu yang mendesak digunakan adalah mesin elektronik yang terhubung langsung secara online ke kantor pajak. Instrumen ini dibutuhkan untuk mencegah penyalahgunaan data sistem pelaporan keuangan yang akhirnya merugikan pendapatan Negara.




Suruso memberikan contoh kasus di pajak daerah untuk dibandingkan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). “Pengusaha restoran atau hotel misalnya, menarik biaya layanan sebesar 10 persen, Namun 10 persen dari biaya pokok dan pajak restoran itu dialokasikan untuk membayar karyawan,” ujarnya. Jelas situasi seperti ini tak bisa diterima.




"Restoran atau hotel punya keuntungan dari bagian tax service yang tidak dibayarkan, yaitu pajak karyawan. Restoran dan hotel itu mendapat keuntungan dari negosiasi kewajiban pajaknya, selain dari service tax tadi," kata Suroso.




Sebaliknya, pihak yang mengakali kewajiban pajak yang bisa saja restoran dan hotel, akan sama sekali tak berkutik tidak bisa menyelewengkan pajak jika seluruh transaksi menggunakan mesin tunai yang terhubung langsung secara online ke kantor pajak.




"Tapi itu pun harus dikontrol karena kalau tidak demikian maka pihak pengusaha akan memberi nota untuk membedakan dengan mesin yang lain," kata Suroso.




Lalu, bagaimana kontrol itu dilakukan? Suroso menunjuk apa yang telah dilakukan kota Samarinda dalam mengoleksi pajak warga kota ini. Di sini, sekitar 15 tahun lalu, pajak restoran itu hanya berkisar Rp 350 juta.




"Setelah kepala bagian keuangan kota Samarinda berkonsultasi dengan saya, saya minta mesin kasir restoran terhubung langsung secara online dengan kantor keuangan pemda. Yang dipasang ketika itu 80 unit. Nah, dalam setahun, pajak dari restoran di daerah naik menjadi Rp 4,5 miliar. Itu harus dikontrol," kata Suroso lagi.




Meski begitu Suroso setuju bahwa untuk melakukan itu dibutuhkan kesabaran. Dengan berbagai terobosan sistem elektronik yang saat ini dimiliki Ditjen Pajak seperti: e-Registration (pendaftaran), e-SPT (pembuatan SPT elektronik), e-Filing (pelaporan), e-Nofa (nomor faktur) dan e-Billing (pembayaran), semua lini sudah sangat terkontrol, tinggal dibutuhkan kesabaran untuk mengontrol seluruh lini perpajakannya.




Suroso setuju, bahwa ini hanya masalah waktu untuk menuai kesuksesan dalam pemungutan pajak. Suroso juga setuju dengan pandangan bahwa para petugas pajak selalu memantau wajib pajak. Ada petugas yang selalu berada di lokasi itu untuk perusahaan besar, sektor tertentu, maupun perorangan tertentu.




Kebocoran di negara ini sendiri terjadi pada dua konsep, yaitu mark-up harga. "Itu terjadi pada proyek-proyek besar. Padahal biaya pengerjaan proyeknya hanya separuhnya," kata Suroso.




Suroso kemudian menjabarkan kebocoran itu dengan mengambil contoh kasus Corporate Social Responsibility (CSR) yang disebutnya berujung pada masukan pajak yang kecil.




Untuk itulah, sistem pelayanan pajak harus lebih meningkat lagi, demi menghindari kebocoran dan kecurangan yang mungkin saja dilakukan wajib pajak, atau akibat kolusi dari oknum Ditjen Pajak. Dan account representative sepertinya menjadi pilihan sangat menjanjikan untuk itu semua.