Ia memandang partai politik (parpol) sering tak memperhatikan integritas dan kemampuan kader perempuan saat berupaya memenuhi syarat kuota calon legislatif (caleg) perempuan sebesar 30 persen dalam pemilihan umum (pemilu).
“Berbagai strategi yang diadopsi oleh partai politik dalam menerapkan kebijakan afirmatif seringkali tidak mencapai hasil yang diharapkan, yaitu kaderisasi yang berkualitas dan output kebijakan yang mendukung pemenuhan kebutuhan perempuan,” kata Felia kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, saat ini partai politik masih belum berperan maksimal dalam menjaring kader perempuan.
Kebanyakan partai menjaring kader perempuan dengan metode "jemput bola" ke orang-orang yang dianggap potensial, seperti pengusaha, artis, atau anggota keluarga politisi.
“Ini misalnya dilakukan dengan meminta izin ke suami yang bersangkutan untuk istrinya diperbolehkan nyaleg tanpa kemudian mempertimbangkan apakah perempuan yang bersangkutan benar-benar memiliki kapasitas untuk itu atau tidak,” katanya.
Karena itu dia menilai caleg perempuan yang biasanya bisa lolos ke parlemen adalah mereka yang berasal dari keluarga politisi, seperti anak atau istri politisi, dan dari kalangan menengah ke atas.
“Jadi memang perempuan-perempuan tertentu saja yang bisa afford biaya politik di Indonesia yang tinggal,” katanya.
Karena itu diperlukan political will dari elit partai politik untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas caleg perempuan ke depan.
“Karena sebenarnya kalau kita ngomongin aturan, aturannya sudah cukup ideal kok dengan pendidikan politik, merit system di proses rekrutmen partai, dan lain-lain. Tapi kan lagi-lagi bisa atau tidaknya itu diimplementasikan, tergantung bagaimana elit partai masing-masing,” ujarnya.
Baca juga: TII sebut KPU perlu perbanyak konten politik untuk anak muda
Baca juga: TII usul ada sanksi berat terhadap aparat dan birokrat tak netral