Agamawan: relokasi Syiah Sampang bukan solusi terbaik
29 Juni 2013 21:45 WIB
Sejumlah pengungsi Syiah Sampang, Madura, beristirahat setiba di Rumah Susun Puspa Agro, Sidoarjo, Jatim, Kamis (20/6). Sebanyak 250 pengungsi Syiah yang tinggal sementara di gedung olahraga (GOR) Wijaya Kusuma, Sampang, direlokasi ke Sidoarjo karena pertimbangan keamanan dan kenyamanan pengungsi. (ANTARA FOTO/Dwi Agus Setiawan)
Semarang (ANTARA News) - Langkah relokasi terhadap ratusan warga penganut Syiah di Sampang, Madura, bukan solusi terbaik karena belum mampu menyentuh akar masalahnya, kata agamawan K.H. Munif Muhammad Zuhri.
"Relokasi sifatnya kan hanya sementara. Akar permasalahannya sebenarnya belum selesai. Nanti bisa terjadi aksi kekerasan seperti itu lagi," katanya di Semarang, Sabtu.
Hal itu diungkapkannya usai menjadi pembicara pada seminar "Menjaga dan Mengaktualisasikan Pancasila Sebagai `Filosofi Gronslag` dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" di Hotel Patra Jasa Semarang.
Ulama kharismatik dari Jawa Tengah tersebut membahas kajian Pancasila dari perspektif budaya pada seminar yang diprakarsai Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu.
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Giri Kusumo, Mranggen, Demak itu, langkah untuk mengantisipasi tindak kekerasan terhadap penganut Syiah harus dilakukan dengan pendekatan secara komprehensif.
"Api besar kan berasal dari api kecil. Kalau sejak dulu sudah ada pendekatan dari Kementerian Agama setempat, tentunya tidak sampai terjadi aksi kekerasan yang menimpa mereka seperti itu," katanya.
Perbedaan paham, meski dalam satu agama, ungkap dia, selama ini selalu saja menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan sehingga mencerminkan masyarakat Indonesia yang tidak sadar dengan realitas kemajemukan.
"Allah SWT saja menciptakan `wallpaper`, berupa langit yang kita lihat tidak pernah sama setiap harinya. Kalau Allah SWT menghendaki semuanya satu dan sama, bisa saja, tetapi dijadikannya kita berbeda," katanya.
Karena itu, Kiai Munif mengingatkan masyarakat untuk mengerti dan memahami segala bentuk perbedaan yang dimiliki manusia dengan meneladani Rasulullah SAW yang menunjukkan penghormatan terhadap mereka yang berbeda.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Prof Arief Hidayat mengatakan aksi kekerasan terhadap sesama warga negara yang berbeda paham agama merupakan bentuk ketidaksadaran masyarakat dalam kehidupan bernegara.
"Negara dibuat untuk menciptakan suasana nyaman bagi warganya. Kenyamanan ini menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat. Tetapi, persoalannya sering muncul sikap tidak saling percaya, bahkan saling curiga," katanya.
"Relokasi sifatnya kan hanya sementara. Akar permasalahannya sebenarnya belum selesai. Nanti bisa terjadi aksi kekerasan seperti itu lagi," katanya di Semarang, Sabtu.
Hal itu diungkapkannya usai menjadi pembicara pada seminar "Menjaga dan Mengaktualisasikan Pancasila Sebagai `Filosofi Gronslag` dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" di Hotel Patra Jasa Semarang.
Ulama kharismatik dari Jawa Tengah tersebut membahas kajian Pancasila dari perspektif budaya pada seminar yang diprakarsai Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu.
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Giri Kusumo, Mranggen, Demak itu, langkah untuk mengantisipasi tindak kekerasan terhadap penganut Syiah harus dilakukan dengan pendekatan secara komprehensif.
"Api besar kan berasal dari api kecil. Kalau sejak dulu sudah ada pendekatan dari Kementerian Agama setempat, tentunya tidak sampai terjadi aksi kekerasan yang menimpa mereka seperti itu," katanya.
Perbedaan paham, meski dalam satu agama, ungkap dia, selama ini selalu saja menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan sehingga mencerminkan masyarakat Indonesia yang tidak sadar dengan realitas kemajemukan.
"Allah SWT saja menciptakan `wallpaper`, berupa langit yang kita lihat tidak pernah sama setiap harinya. Kalau Allah SWT menghendaki semuanya satu dan sama, bisa saja, tetapi dijadikannya kita berbeda," katanya.
Karena itu, Kiai Munif mengingatkan masyarakat untuk mengerti dan memahami segala bentuk perbedaan yang dimiliki manusia dengan meneladani Rasulullah SAW yang menunjukkan penghormatan terhadap mereka yang berbeda.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Prof Arief Hidayat mengatakan aksi kekerasan terhadap sesama warga negara yang berbeda paham agama merupakan bentuk ketidaksadaran masyarakat dalam kehidupan bernegara.
"Negara dibuat untuk menciptakan suasana nyaman bagi warganya. Kenyamanan ini menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat. Tetapi, persoalannya sering muncul sikap tidak saling percaya, bahkan saling curiga," katanya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013
Tags: