Jakarta (ANTARA News) - Ketika diterapkan dalam praksis bernegara di Yunani Kuno, politik memperlihatkan esensinya yang agung, yakni aktivitas menata masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.

Para politisi yang aktif adalah negarawan yang bijak dan selalu menata kehidupan bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama, suasana lingkungan yang makmur sejahtera dan berkeadilan.

Saat itu Lord Acton belum lahir tentunya. Adagium bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang mutlak melahirkan korupsi absolut belum terbayangkan oleh siapapun.

Namun, perjalanan sejarah mengevolusi praksis politik ke kondisi peyoratif. Politik pun, oleh kalangan sarjana ilmu politik, mulai diberi definisi yang menyerupai watak serigala.


Di antara batasan akademis yang paling termasyhur adalah bahwa politik itu sekadar urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Sebentar lagi Indonesia memasuki momen penting dalam perjalanan demokrasinya: menyelenggarakan Pemilu 2014.



Para politisi sudah memulai bagian kerja untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan lewat proses yang menyerap anggaran amat besar itu.

Berbingkai logika berpikir yang esensial tentang politik sejak awal dipraktekkan di Yunani Kuno itulah, tulisan ini mencoba mengembalikan makna politik yang agung dan sarat amanah rakyat.



Para calon legislatif yang berfantasi bahwa menjadi caleg adalah aktivitas transaksional berujung pada keuntungan materi tentu melenceng dari esensi politik.

Begitu juga dengan para pesohor dari dunia hiburan, yang selama ini tak sempat bergelut dengan teks-teks tentang hakikat keadilan dan nilai-nilai luhur dalam hidup, memasuki dunia politik dengan menjadi caleg harus mulai mengubah pola pikir bahwa menjadi anggota DPR itu mudah: datang, dengar rapat, pulang dan terima gaji setiap bulan.

Di samping punya niat awal yang luhur yakni andil menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadilan, legislator perlu memahami nilai-nilai kemanusiaan yang asasi: bahwa penegakan hak asasi manusia, demokrasi berserta nilai-nilai penopangnya tak bisa dipandang enteng.

Ketika kehidupan sudah demikian kompleks seperti sekarang, menentukan apa yang adil lewat penentuan alokasi anggaran negara adalah pekerjaan yang begitu berat.



Kaum selebritas akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang begitu rumitnya tentang banyak hal untuk memutuskan berapa persen anggaran yang harus dialokasikan untuk menegakkan demokrasi, berapa persen untuk pendidikan dan lain sebagainya.

Menjadi legislator yang ideal bukan seperti yang terpapar oleh ulah legislator korup yang akhirnya masuk ke hotel pordeo, yang sebagian aktivitasnya adalah meloloskan anggaran untuk proyek-proyek yang berdampak pada keuntungan kocek pribadi.



Maraknya korupsi yang masuk dalam penanganan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini seolah mempertegas watak serigala politik.

Tapi publik Indonesia masih bisa berpengharapan dan bersyukur karena masih ada politisi yang memperlihatkan wajah kenegarawanan dan mereka berhasil menyingkirkan pesaingnya yang didukung oleh gelimang dana politik yang lebih besar dalam perebutan kekusaan di tingkat politik regional beberapa waktu lalu.

Publik pun merasa tak salah dengan pilihan mereka. Itu terbukti bahwa sang politisi yang kini menjadi pemimpin regional tak memanfaatkan posisinya untuk aktivitas transaksional.



Sang pemimpin berusaha mengembalikan politik dalam wajah agungnya. Kepada masyarakat yang dipimpinnya, dia berusaha mendengar, menjadikan keluh kesah mereka sebagai masukan untuk pengambilan keputusan.

Jika kebanyakan para pemimpin dalam masa tiga dasawarsa belakangan memperlihatkan lebih banyak arogansi kekuasaannya, sang pemimpin ini tetap tampil dengan apa adanya, sahaja dan meneladani para pemimpin besar dalam sejarah politik, yang dalam dunia Islam, diwakili antara lain oleh Umar bin Khattab.



Pada masa-masa tertentu, Umar menyamar sebagai orang biasa untuk memasuki kehidupan umat yang dipimpinnya.




Alkisah, Umar mendengar dialog antara ibu dan anak yang lapar. Sang anak bertanya apakah makanan yang sedang dimasak sang ibu sudah matang. Ibu menjawab, belum.

Anak itu akhirnya merintih menangis karena makanan tak matang-matang. Ibu itu ternyata mengelabui anaknya dengan merebus batu.



Umar mengetahui kejadian itu, segeralah dia menggotong sekarung gandum untuk ibu yang janda itu.

Begitulah wajah politik yang agung. Ini sangat berbeda dengan politik yang diterjemahkan dalam akrobat olah pikir dalam bentuk pengambilan keputusan yang berujung untuk kepentingan kelompok dan pribadi.

Dengan semakin matangnya pengalaman berdemokrasi, masyarakat akan semakin mengerti mana politisi yang layak mewakili dan memimpin mereka dalam periode pergantian legislator dan presiden 2014-2019.



Optimisme itu cukup beralasan mengingat mulai saat ini semakin banyak organisasi swadaya masyarakat yang membantu publik untuk memilih politisi yang bersih, berdedikasi dan tak punya rekam jejak negatif pada masa lalu.

Pilihan terhadap politisi yang layak memimpin di masa depan memang pantas di dasarkan pada rekam jejak dan bukan ranah profesi mereka.



Sebab, tak ada jaminan bahwa profesi tertentu, entah itu profesional di bidang akademis, di dunia hiburan, atau bisnis, lebih baik dibandingkan dengan profesi lain.

Hanya dengan mendasarkan pada rekam jejak itulah, integritas sang politisi bisa dijadikan jaminan untuk memilih mereka yang akan mengemban tugas kenegaraan yang agung: mengelola urusan publik untuk salah satu tujuan hidup, yakni terciptanya suasana kemasyarakatan yang berkeadilan.