Konferensi Literasi Keagamaan Lintas Budaya digelar oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI bersama Institut Leimena di Jakarta pada Selasa.
"Kawasan ASEAN mengakui pluralisme dan telah menetapkan kesetaraan ras dan kebebasan berkeyakinan sebagai hak-hak hukum konstitusional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tatanan sosial masyarakat majemuk telah terpukul di banyak tempat," ujar dia.
Baca juga: Asosiasi Pelabuhan ASEAN bahas sistem maritim tunggal di Bali
Menurutnya, program LKLB yang digelar di Indonesia telah menarik minat negara-negara lain seperti Afrika Selatan, Uzbekistan, Kazakhstan, Belanda, Amerika Serikat, dan Vietnam.
“Memang selama dua tahun program ini berjalan, kami mendapat undangan ke berbagai negara di luar untuk memperkenalkan LKLB. Mereka ingin mengetahui bagaimana program ini dijalankan di Indonesia,” kata Matius.
Ia mengemukakan, LKLB mengajak masyarakat untuk saling menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi martabat manusia. Program LKLB mengambil pendekatan praktis untuk membantu masyarakat, khususnya para pendidik, agar memiliki kompetensi dalam menjalin relasi dengan orang berbeda agama.
Menurutnya, literasi keagamaan lintas budaya melampaui arti dari toleransi karena masyarakat didorong memiliki kompetensi dan mampu saling berkolaborasi dengan mereka yang berbeda agama.
"Ketika orang yang berbeda saling bekerja sama dengan damai, maka perlahan rasa saling percaya juga akan terbangun, dan lebih jauh lagi kita harus berkolaborasi. Terkadang, kita hanya membiarkan seseorang yang tidak kita sukai, tetapi kalau kita sampai berkolaborasi, artinya kita bisa menjangkau orang yang berbeda,” ujar Matius.
Baca juga: Pelindo gandeng operator pelabuhan di ASEAN turunkan biaya logistik
Baca juga: Penguatan kerangka ASEAN perlu diutamakan untuk penanganan kabut asap
Baca juga: Menhub: Konektivitas transportasi dukung pertumbuhan pariwisata ASEAN