Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengungkapkan kekhawatirannya terkait kondisi bisnis telekomunikasi saat ini, di mana tidak berimbangnya antara pendapatan dan biaya yang harus dikeluarkan oleh operator.

Fachys dalam forum diskusi di Jakarta, Senin, menjelaskan bahwa pendapatan industri operator seluler hanya tumbuh sekitar 5,6 persen secara rata-rata pada periode 2013 hingga 2022, sementara biaya regulatory charge yang terutama disumbangkan oleh biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, tumbuh sekitar 12 persen.

Hal ini dinilainya menyebabkan ketidakseimbangan antara pertumbuhan pendapatan dan biaya yang harus dibayarkan.

"Kalau mau sehat harus dibawa 10 persen pendapatan untuk regulatory charge. Regulatory charge tidak hanya frekuensi tetapi juga ada yang lainnya. Namun yang terbesar adalah frekuensi," kata Merza.

Baca juga: ATSI bahas secara internal rencana pemblokiran IMEI ilegal

Baca juga: Harga miring salah satu indikasi ponsel ber-IMEI ilegal


"Di sisi lain, bahwa pendapatan operator tumbuhnya tidak lagi setinggi masa lalu. Saat ini operator hanya tumbuh sekitar 5,6 persen secara rata-rata pertumbuhan. Padahal kalau kita lihat BHP frekuensi pertumbuhannya sudah bisa mencapai lebih dari 10 persen, sehingga tumbuhnya pendapatan ini tidak seimbang dengan tumbuhnya regulatory charge yang kita bayar," tambah dia.

Selain itu, pertumbuhan lalu lintas data yang signifikan juga menjadi fokus perhatian. Meskipun terjadi peningkatan traffic hingga 80 persen dari 2013 hingga 2022, pertumbuhan pendapatan operator jauh dari seimbang, hanya sekitar 5 persen. Fenomena ini menyebabkan ketimpangan yang signifikan antara pertumbuhan trafik dan pendapatan.

"Dengan demikian 5 persen dibandingkan 80 persen yang harus dipikul sama pendapatannya menjadi jomplang. Inilah yang menyebabkan bahwa kondisi seluler saat ini sedang tidak baik-baik saja," kata dia.

Dalam kesempatan itu, Merza juga menyinggung mengenai anggapan agar operator telekomunikasi harus beralih ke bisnis digital untuk bertahan.

Menurutnya, hal tersebut tidaklah tepat, sebab, apabila semua operator beralih ke bisnis digital tanpa memperhatikan infrastruktur, hal ini bisa berdampak negatif pada keberlangsungan infrastruktur digital yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi berbasis digital.

Dia menekankan pentingnya menjaga dan memajukan kedua aspek ini secara bersamaan, bukan hanya fokus pada bisnis digital tanpa memperhatikan infrastruktur. Dia berharap pemerintah tidak hanya memperhatikan infrastruktur, tetapi juga dunia digital dalam mengatur kebijakan.

"Semua orang akhirnya naik ke (bisnis) OTT (over the top), naik menjadi pengguna jaringan saja, jaringannya nanti tidak terurus akhirnya makin kacau. Jadi tidak bisa seperti itu. Justru dua-duanya harus tumbuh bareng-bareng, harus dijaga bareng-bareng, dua duanya harus sehat bersama-sama," ucap dia.

Baca juga: ATSI butuh transformasi regulasi dukung pemerataan internet

Baca juga: ATSI usulkan bentuk insentif yang disiapkan Kemenkominfo untuk 5G

Baca juga: ATSI tengah susun kajian tentang biaya frekuensi optimal bagi industri