Surabaya (ANTARA News) - Peneliti dan Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) Jakarta, M. Aminudin, berpendapat kenaikan harga BBM 2013 akan menguntungkan perusahaan minyak asing.
"Saat ini, SPBU asing sepi pengunjung karena harganya lebih mahal dibandingkan dengan BBM di SPBU Pertamina, seperti Shell (Belanda) dan Total (Prancis), bahkan Petronas (Malaysia) gulung tikar lebih dahulu," katanya di Surabaya, Minggu.
Menurut alumnus FISIP Unair Surabaya itu, dengan kenaikan harga BBM yang dioperatori Pertamina yang akhirnya mendekati harga milik SPBU asing, pasti SPBU milik asing Shell dan Total akan ramai pembeli.
"Itu belum lagi banyaknya perusahaan minyak asing yang menguasai hulu perminyakan di Indonesia, seperti Chevron, Exxon Mobile, Caltex, Shell, dan British Petroleum. Sekitar 85 persen industri minyak kita dikuasai sektor asing," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, agenda terselubung dari siapa yang diuntungkan di balik makin mahalnya BBM adalah perusahaan minyak asing yang bercokol di Republik ini.
"Jadi, tidak benar apa yang menjadi alasan kenaikan harga BBM seperti disebutkan dalam iklan yang ditayangkan di berbagai TV nasional, yakni pembengkakan APBN dan subsidi 85 persen salah sasaran," katanya.
Ia menyebut alasan pembengkakan APBN itu ganjil karena kenaikan harga BBM kali ini justru terjadi di tengah harga minyak pasaran internasional (NYMEX) sedang merosot akibat melimpahnya cadangan minyak di Amerika.
"Saat ini (2013), harga minyak di pasaran internasional telah merosot ke kisaran rata-rata 92 dolar per barel. Banyak negara justru sedang menurunkan harga BBM, termasuk Jordania. Pemerintah Jordania baru saja bulan Juni ini mengumumkan penurunan harga BBM sebesar 3-5 persen karena penurunan harga global," katanya.
Terkait dengan alasan subsidi 85 persen salah sasaran juga ganjil karena subsidi itu diberikan dengan dana utang selama dua tahun dengan tanggal penutupan pada 30 Juni 2014, menurut dia, bukan dari dana hasil pemangkasan subsidi BBM.
"Jadi, program keluarga harapan, raskin, atau bea siswa untuk gakin dan juga kompensasi kenaikan harga BBM itu bersumber dari utang luar negeri, bukan dari pemangkasan subsidi BBM," kata Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI (2005) dan Tenaga Ahli DPR RI periode 2008-2009 itu.
Ia mengatakan bahwa Pemerintah juga berusaha menutupi kenyataan peningkatan pemasukan dari sektor migas bersamaan dengan meningkatnya subsidi.
Ketika subsidi BBM terus meningkat, lanjut dia, penerimaan negara dari sektor migas justru meningkat.
"Pada tahun 2005, penerimaan migas baru mencapai Rp138,9 triliun, kemudian pada tahun 2010 penerimaan menjadi Rp220 triliun, lalu pada ahun 2012 penerimaan migas mencapai Rp265,94 Triliun. Jadi, kenaikan BBM kali ini banyak mengidap `cacat akuntabilitas` pengelolaan uang negara," katanya.
Pengamat: kenaikan untungkan perusahaan asing
23 Juni 2013 17:39 WIB
Pengendara sepeda motor antre mengisi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di SPBU di Jalan Hayam Wuruk Jakarta, Jumat (21/6). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro)
Pewarta: Edy M. Ya`kub
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013
Tags: