Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut ketidakmampuan sistem peringatan dini mengantisipasi tsunami di kebanyakan negara, termasuk Indonesia, menjadi pelajaran untuk instansi tersebut.

Dwikorita dalam keterangan tertulis disiarkan di Jakarta, Kamis, menyatakan sistem peringatan dini kebanyakan belum efektif dalam mengantisipasi terjadinya bencana tsunami, khususnya yang dipicu aktivitas non seismik.

Baca juga: Layar informasi cuaca untuk antisipasi gempa dipasang di lokasi G20

Menurutnya, sistem peringatan dini tsunami yang ada umumnya hanya ditujukan untuk tsunami megathrust yang sebelumnya didahului oleh gempabumi besar.

“Indonesia pernah merasakan dua kali tsunami yang justru bukan disebabkan oleh gempabumi, yaitu tsunami Palu yang terjadi pada bulan September 2018 disebabkan tanah longsor dan tsunami Selat Sunda yang terjadi pada bulan Desember 2018 yang dipicu aktivitas gunung berapi,” ujar Dwikorita dalam World Tsunami Awareness Day Webinar yang diselenggarakan oleh UNESCO - IOC Intergovernmental Coordination Group for Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System, Selasa (7/11).

Baca juga: BMKG antisipasi gempa dan tsunami di Bandara Ngurah Rai

Dalam Webinar yang mengusung tema “Fighting Inequality for a Resilient Future” tersebut, Dwikorita mengatakan ketidakmampuan sistem peringatan dini tsunami pada tahun 2018 dalam memberikan informasi yang cepat terhadap tsunami yang dipicu aktivitas non seismik, menjadi pelajaran penting yang segera ditindaklanjuti oleh BMKG.

Maka dari itu, lanjut Dwikorita, dengan kejadian tsunami Tahun 2018 tersebut, InaTEWS semakin dikuatkan dengan menambah jumlah peralatan sensor gempa untuk merapatkan jaringan monitoring.

Baca juga: BPBD Sikka imbau warga tetap siaga meski status potensi tsunami turun

Dwikorita menekankan bahwa kesiapsiagaan masyarakat adalah yang terpenting, terlepas dari kemajuan teknologi sistem peringatan dini.

Menurutnya, masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah pesisir rawan tsunami sangat membutuhkan pendidikan dan kesadaran untuk merespons secara efektif. Mereka, kata Dwikorita, memiliki keterbatasan dalam mengakses peringatan dini.

Baca juga: Antisipasi dampak tsunami, KKP tanam ribuan bibit vegetasi pantai

Maka dari itu, lanjut Dwikorita, untuk mendorong tindakan dan kesiapsiagaan dini, informasi yang komprehensif dan mudah dimengerti, ditambah dengan program pendidikan, sangatlah penting. Keunikan dan kompleksitas tsunami, tambahnya, membutuhkan teknologi peringatan dini yang inovatif yang digabungkan dengan kearifan lokal.

“Pengetahuan tentang kearifan lokal dapat secara efektif mengakomodasi kemampuan untuk mengakses peringatan dini bagi masyarakat terpencil. Jadi, kolaborasi antara teknologi dan kearifan lokal dapat memperkuat sistem peringatan dini gempabumi dan tsunami,” ujarnya.

Baca juga: BMKG minta Kemensos antisipasi skenario terburuk gempa-tsunami Pacitan
Baca juga: Antisipasi potensi tsunami warga pesisir tinggalkan Kota Majene