Artikel
Kesehatan mental dan Indonesia Emas
Oleh Indriani
8 November 2023 22:49 WIB
Direktur Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr H Marzoeki Mahdi, Dr dr Nova Riyanti Yusuf SpKJ, dalam diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Indriani)
Jakarta (ANTARA) - Kesehatan mental tak bisa dianggap sepele. Meskipun tidak tampak dari luar, tapi saat ini kesehatan mental menjadi isu yang tak bisa lepas dari keseharian.
Meninggalnya seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atau Unair berinisial CA di dalam mobil akibat bunuh diri, membuka mata publik bahwa aspek kesehatan mental patut diperhatikan.
Beberapa kasus perlu mendapat perhatian bersama untuk mencegah agar kasus serupa tidak terulang, demi mendukung cita-cita terwujudnya Indonesia Emas pada 2045. Generasi emas Indonesia, idealnya tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga sehat mental.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bahwa prevalensi depresi masyarakat Indonesia sebesar 6,1 persen. Dalam bincang edukasi yang diselenggarakan Cempaka Study Club di Jakarta, beberapa waktu lalu, Direktur Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr H Marzoeki Mahdi, Dr dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, mencatat kondisi gangguan jiwa tertinggi tahun 2000-2019, sebagian besar karena depresi, gangguan cemas, dan skizofrenia.
Tak hanya manusia dewasa, kaum remaja pun rentan mengalami depresi. Data penelitian yang dilakukan pada 2019 menyebutkan dari 910 siswa SMA/SMK di Jakarta, 13,8 persen di antaranya berpotensi bunuh diri karena disebabkan kesepian, merasa menjadi beban, keinginan menjadi sesuatu, dan merasa tidak ada harapan untuk menapaki masa depan. Rata-rata pelaku bunuh diri di Tanah Air berusia pada awal 20 tahun dan sebagian besar dilakukan di rumah atau tempat tinggal.
Diperkirakan angka tersebut mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sebagai pusat kesehatan jiwa nasional, rumah sakit itu terus mengarahkan para remaja untuk menjadi versi terbaik masing-masing dari diri mereka.
Anak-anak muda itu tumbuh bukan dengan didikte dari media sosial atau dari ekspektasi yang datang bukan dari dirinya sendiri.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi sejahtera secara mental, yang memungkinkan seseorang dapat mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, belajar dengan baik dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitasnya. Kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang mendasar, yang menjadi landasan penting untuk pengembangan pribadi, komunitas dan sosial serta ekonomi.
Seseorang yang bisa dikatakan atau dikategorikan sehat secara mental adalah apabila orang tersebut terhindar atau tidak mengalami gejala-gejala gangguan jiwa atau neurosis dan penyakit jiwa. Permasalahan mental yang tidak diselesaikan dengan baik, maka akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja tersebut di kemudian hari, terutama terhadap pematangan karakter dan memicu terjadinya gangguan perkembangan mental emosional.
Ekosistem
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong agar perguruan tinggi dapat menciptakan ekosistem yang sehat, aman, dan nyaman untuk mendukung kesehatan mental mahasiswa.
Kemendikbudristek sendiri mendorong adanya konsep kampus sehat yang mana tidak hanya sehat secara fisik tapi juga mental. Hal itu untuk membentengi para mahasiswa yang bergelut dengan persoalan jiwanya agar kuat dan tahan menghadapi berbagai persoalan.
Dalam konsep Kemendikburistek, kampus sehat itu mencakup kesehatan fisik, seperti dorongan rajin olah raga, kawasan kampus bebas rokok, dan membangun keseimbangan antara akademik dan kebugaran mahasiswa.
Konsep kampus sehat juga meliputi sehat secara intelektual, yang mana intelektual muda bisa berinteraksi dengan dosen secara kritis, analitis, dan bernas, yang dikemas dalam diskusi yang baik dan santun. Selanjutnya, sehat secara emosional atau sehat psikologis. Kesehatan mental sangat esensial dan perlu dibangun bersama oleh semua komponen kampus, termasuk di dalam keluarga para mahasiswa.
Terkait regulasi, Kemendikbudristek sudah memiliki PPKS Anti Kekerasan Seksual yang tugasnya juga untuk mencegah praktik perundungan dan bentuk kekerasan lain agar kesehatan mental di kampus tetap terjaga.
Pemerintah juga melalui PKJN RSJMM juga sedang merancang peta jalan pencegahan bunuh diri, sekaligus memetakan dan mendata ulang kasus bunuh diri. Selain itu juga mengaktifkan layanan konseling 24 jam, yakni D'Patens 24, yang dapat diakses oleh seluruh mahasiswa melalui telepon dan pesan singkat.
Selain itu, dalam UU Kesehatan Nomor 17 tahun 2023 pada Pasal 75 ayat 2 disebutkan upaya kesehatan jiwa, termasuk upaya pencegahan bunuh diri, melalui pencegahan faktor risiko bunuh diri dan mencegah pikiran menyakiti diri sendiri dan bunuh diri.
Salah satu upaya pencegahan bunuh diri yang dapat dilakukan adalah membatasi akses ke alat-alat yang digunakan untuk terjadinya bunuh diri. Saat seseorang merasa "gatal" melihat pisau dan benda tajam, maka keluarganya perlu diberi tahu dan berusaha agar benda tajam tersebut disingkirkan, termasuk di rumah sakit.
Selain itu, media juga perlu memperhatikan bagaimana memberitakan kasus bunuh diri secara bertanggung jawab, dengan tidak membuat judul berita yang memicu khalayak untuk melakukan tindakan serupa. Upaya menjaga kesehatan mental tak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak, tetapi juga semua lapisan masyarakat, sehingga generasi tangguh Indonesia Emas, yang tak hanya sehat secara fisik, tetapi juga sehat mental, dapat tercapai.
Kepedulian semua komponen bangsa untuk selalu peka pada keadaan di sekitar sangat membantu anak-anak muda untuk tidak memilih jalan pintas ketika menghadapi persoalan.
Meninggalnya seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atau Unair berinisial CA di dalam mobil akibat bunuh diri, membuka mata publik bahwa aspek kesehatan mental patut diperhatikan.
Beberapa kasus perlu mendapat perhatian bersama untuk mencegah agar kasus serupa tidak terulang, demi mendukung cita-cita terwujudnya Indonesia Emas pada 2045. Generasi emas Indonesia, idealnya tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga sehat mental.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bahwa prevalensi depresi masyarakat Indonesia sebesar 6,1 persen. Dalam bincang edukasi yang diselenggarakan Cempaka Study Club di Jakarta, beberapa waktu lalu, Direktur Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa dr H Marzoeki Mahdi, Dr dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, mencatat kondisi gangguan jiwa tertinggi tahun 2000-2019, sebagian besar karena depresi, gangguan cemas, dan skizofrenia.
Tak hanya manusia dewasa, kaum remaja pun rentan mengalami depresi. Data penelitian yang dilakukan pada 2019 menyebutkan dari 910 siswa SMA/SMK di Jakarta, 13,8 persen di antaranya berpotensi bunuh diri karena disebabkan kesepian, merasa menjadi beban, keinginan menjadi sesuatu, dan merasa tidak ada harapan untuk menapaki masa depan. Rata-rata pelaku bunuh diri di Tanah Air berusia pada awal 20 tahun dan sebagian besar dilakukan di rumah atau tempat tinggal.
Diperkirakan angka tersebut mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sebagai pusat kesehatan jiwa nasional, rumah sakit itu terus mengarahkan para remaja untuk menjadi versi terbaik masing-masing dari diri mereka.
Anak-anak muda itu tumbuh bukan dengan didikte dari media sosial atau dari ekspektasi yang datang bukan dari dirinya sendiri.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi sejahtera secara mental, yang memungkinkan seseorang dapat mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, belajar dengan baik dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitasnya. Kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang mendasar, yang menjadi landasan penting untuk pengembangan pribadi, komunitas dan sosial serta ekonomi.
Seseorang yang bisa dikatakan atau dikategorikan sehat secara mental adalah apabila orang tersebut terhindar atau tidak mengalami gejala-gejala gangguan jiwa atau neurosis dan penyakit jiwa. Permasalahan mental yang tidak diselesaikan dengan baik, maka akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja tersebut di kemudian hari, terutama terhadap pematangan karakter dan memicu terjadinya gangguan perkembangan mental emosional.
Ekosistem
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong agar perguruan tinggi dapat menciptakan ekosistem yang sehat, aman, dan nyaman untuk mendukung kesehatan mental mahasiswa.
Kemendikbudristek sendiri mendorong adanya konsep kampus sehat yang mana tidak hanya sehat secara fisik tapi juga mental. Hal itu untuk membentengi para mahasiswa yang bergelut dengan persoalan jiwanya agar kuat dan tahan menghadapi berbagai persoalan.
Dalam konsep Kemendikburistek, kampus sehat itu mencakup kesehatan fisik, seperti dorongan rajin olah raga, kawasan kampus bebas rokok, dan membangun keseimbangan antara akademik dan kebugaran mahasiswa.
Konsep kampus sehat juga meliputi sehat secara intelektual, yang mana intelektual muda bisa berinteraksi dengan dosen secara kritis, analitis, dan bernas, yang dikemas dalam diskusi yang baik dan santun. Selanjutnya, sehat secara emosional atau sehat psikologis. Kesehatan mental sangat esensial dan perlu dibangun bersama oleh semua komponen kampus, termasuk di dalam keluarga para mahasiswa.
Terkait regulasi, Kemendikbudristek sudah memiliki PPKS Anti Kekerasan Seksual yang tugasnya juga untuk mencegah praktik perundungan dan bentuk kekerasan lain agar kesehatan mental di kampus tetap terjaga.
Pemerintah juga melalui PKJN RSJMM juga sedang merancang peta jalan pencegahan bunuh diri, sekaligus memetakan dan mendata ulang kasus bunuh diri. Selain itu juga mengaktifkan layanan konseling 24 jam, yakni D'Patens 24, yang dapat diakses oleh seluruh mahasiswa melalui telepon dan pesan singkat.
Selain itu, dalam UU Kesehatan Nomor 17 tahun 2023 pada Pasal 75 ayat 2 disebutkan upaya kesehatan jiwa, termasuk upaya pencegahan bunuh diri, melalui pencegahan faktor risiko bunuh diri dan mencegah pikiran menyakiti diri sendiri dan bunuh diri.
Salah satu upaya pencegahan bunuh diri yang dapat dilakukan adalah membatasi akses ke alat-alat yang digunakan untuk terjadinya bunuh diri. Saat seseorang merasa "gatal" melihat pisau dan benda tajam, maka keluarganya perlu diberi tahu dan berusaha agar benda tajam tersebut disingkirkan, termasuk di rumah sakit.
Selain itu, media juga perlu memperhatikan bagaimana memberitakan kasus bunuh diri secara bertanggung jawab, dengan tidak membuat judul berita yang memicu khalayak untuk melakukan tindakan serupa. Upaya menjaga kesehatan mental tak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak, tetapi juga semua lapisan masyarakat, sehingga generasi tangguh Indonesia Emas, yang tak hanya sehat secara fisik, tetapi juga sehat mental, dapat tercapai.
Kepedulian semua komponen bangsa untuk selalu peka pada keadaan di sekitar sangat membantu anak-anak muda untuk tidak memilih jalan pintas ketika menghadapi persoalan.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023
Tags: