Kurs rupiah dinilai masih jauh lebih baik dibanding periode 2019-2020
8 November 2023 16:18 WIB
Ilustrasi - Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc/pri.)
Jakarta (ANTARA) - Direktur PT. Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai kondisi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa bulan terakhir masih jauh lebih baik ketimbang pelemahan yang terjadi pada periode 2019-2020.
“Kalau dilihat tahun 2019-2020 itu jauh lebih parah dibanding yang terjadi saat ini. Sebetulnya, rupiah adalah mata uang yang performanya cukup terjaga dibanding mata uang lainnya secara year to date,” kata Ibrahim dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6 persen. Kenaikan suku bunga ini berdampak terhadap berbagai sektor, mulai dari properti, asuransi, sampai kredit yang disalurkan perbankan.
Kendati demikian, lanjutnya, perlu dipahami bahwa kenaikan suku bunga dilakukan untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak ketidakpastian global, serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk mitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor.
“BI melakukan tindakan preemptive dan forward looking di tengah ketidakstabilan global. BI ingin mendukung kestabilan nilai rupiah di tengah volatilitas yang tinggi. Volatilitas tinggi ini bisa dilihat dari angka yield obligasi Amerika Serikat (AS) yang sedang ada di angka 5 persen, tertinggi sejak 2007, sehingga BI tidak bisa lagi menahan suku bunga,” ungkap Ibrahim.
Baca juga: BI: Penerbitan SVBI dan SUVBI untuk jaga stabilitas rupiah
Baca juga: Rupiah berpotensi menguat terbatas seiring investor "wait and see"
Selain itu, belum lagi ditambah kabar dari Federal Reserve (The Fed) yang hendak melakukan jeda dan tidak akan menaikkan suku bunga.
Sikap The Fed ini mempengaruhi bank sentral di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Meskipun begitu, penahanan suku bunga oleh The Fed tidak serta merta membuat mereka akan segera menurunkan suku bunga acuan.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah melemah sebesar 14 poin atau 0,09 persen menjadi Rp15.650 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp15.636 per dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Rabu turut melemah ke posisi Rp15.629 dari sebelumnya Rp15.593 per dolar AS.
Sikap wait and see dari para investor yang menantikan pidato Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed Jerome Powell pada hari ini dan Kamis (9/11) turut memberikan sentimen terhadap pelemahan rupiah
“Sebelum Powell, beberapa pejabat Fed, termasuk Gubernur Michelle Bowman, Presiden Fed Minneapolis Neel Kashkari, dan Presiden Fed Chicago Austan Goolsbee mencatat bahwa inflasi masih terlalu tinggi, dan suku bunga berpotensi naik lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang. Bahkan, jika The Fed berhenti sejenak, diperkirakan akan mulai memangkas suku bunga pada pertengahan tahun 2024,” ujarnya.
Baca juga: Ekonom sebut rupiah jadi mata uang yang performanya terjaga
Baca juga: Rupiah melemah seiring perlambatan ekonomi China
“Kalau dilihat tahun 2019-2020 itu jauh lebih parah dibanding yang terjadi saat ini. Sebetulnya, rupiah adalah mata uang yang performanya cukup terjaga dibanding mata uang lainnya secara year to date,” kata Ibrahim dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6 persen. Kenaikan suku bunga ini berdampak terhadap berbagai sektor, mulai dari properti, asuransi, sampai kredit yang disalurkan perbankan.
Kendati demikian, lanjutnya, perlu dipahami bahwa kenaikan suku bunga dilakukan untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak ketidakpastian global, serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk mitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor.
“BI melakukan tindakan preemptive dan forward looking di tengah ketidakstabilan global. BI ingin mendukung kestabilan nilai rupiah di tengah volatilitas yang tinggi. Volatilitas tinggi ini bisa dilihat dari angka yield obligasi Amerika Serikat (AS) yang sedang ada di angka 5 persen, tertinggi sejak 2007, sehingga BI tidak bisa lagi menahan suku bunga,” ungkap Ibrahim.
Baca juga: BI: Penerbitan SVBI dan SUVBI untuk jaga stabilitas rupiah
Baca juga: Rupiah berpotensi menguat terbatas seiring investor "wait and see"
Selain itu, belum lagi ditambah kabar dari Federal Reserve (The Fed) yang hendak melakukan jeda dan tidak akan menaikkan suku bunga.
Sikap The Fed ini mempengaruhi bank sentral di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Meskipun begitu, penahanan suku bunga oleh The Fed tidak serta merta membuat mereka akan segera menurunkan suku bunga acuan.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah melemah sebesar 14 poin atau 0,09 persen menjadi Rp15.650 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp15.636 per dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Rabu turut melemah ke posisi Rp15.629 dari sebelumnya Rp15.593 per dolar AS.
Sikap wait and see dari para investor yang menantikan pidato Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed Jerome Powell pada hari ini dan Kamis (9/11) turut memberikan sentimen terhadap pelemahan rupiah
“Sebelum Powell, beberapa pejabat Fed, termasuk Gubernur Michelle Bowman, Presiden Fed Minneapolis Neel Kashkari, dan Presiden Fed Chicago Austan Goolsbee mencatat bahwa inflasi masih terlalu tinggi, dan suku bunga berpotensi naik lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang. Bahkan, jika The Fed berhenti sejenak, diperkirakan akan mulai memangkas suku bunga pada pertengahan tahun 2024,” ujarnya.
Baca juga: Ekonom sebut rupiah jadi mata uang yang performanya terjaga
Baca juga: Rupiah melemah seiring perlambatan ekonomi China
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023
Tags: