Jakarta (ANTARA News) -Eksistensi orang Betawi saat perayaan HUT DKI Jakarta tahun ini menjadi layak dipertanyakan karena sebagai penduduk asli wilayah itu seharusnya keberadaannya di segala bidang terlihat jelas.

Jika tema perayaan HUT ke-486 DKI Jakarta itu adalah "Jakarta Baru, Jakarta Kita", pertanyaannya adalah apakah ada orang Betawi di "Jakarta Baru" itu?

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, yang belum genap setahun memimpin Ibu Kota itu, telah berkomitmen mengembangkan masyarakat Betawi beserta kebudayaannya.

Komitmen Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi itu menunjukkan bahwa dia menjalankan falsafah hidup orang Betawi yakni "masup kandang kambing ngembik, masup kandang kerbau ngelenguh".

Komitmen Jokowi itu juga seperti menjawab keresahan yang ada di sebagian tokoh dan masyarakat Betawi, yang merupakan "tuan rumah" di Kota Metropolitan, atas minimnya ruang dan lokasi bagi orang Betawi dalam menancapkan eksistensinya, khususnya dalam berkebudayaan.

Komitmen itu antara lain Pemprov DKI Jakarta akan mengharuskan penggunaan ornamen Betawi pada bangunan-bangunan di Jakarta, menyelesaikan pembangunan kawasan baru di Kampung Betawi Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, serta pembangunan Masjid Raya Jakarta yang keseluruhannya bangunannya menggunakan karakter Betawi.

Selain itu, pembiasaan PNS Pemrov DKI Jakarta untuk menggunakan baju Betawi sekali dalam seminggu, dan menyegerakan pengenalan kebudayaan dan filosofi Betawi sejak usia dini dengan melaksanakan program muatan lokal untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Pemprov juga akan menyelesaikan Pusat Kebudayaan Betawi eks Kodim Jakarta Timur, Gedung Museum MH Thamrin, serta pembangunan revitalisasi makam Pangeran Jayakarta.

Berkaitan dengan itu, Ketua Bamus Betawi (demisioner) Becky Mardani mengatakan masyarakat masih perlu menunggu realisasi pernyataan politik Gubernur tersebut.

"Karena program yang menyangkut Betawi sekarang ini sebetulnya lanjutan dari sebelumnya. Misalnya LP PBB (Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi) itu `dedicated program` sejak lama. Jadi mesti kita lihat dahulu realisasinya. Jangan Cuma janji dan Betawi puas di kasih janji," katanya.

Menurut Becky, masyarakat Betawi harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya generasi mudanya untuk siap bersaing demi meningkatkan eksistensinya, termasuk di bidang eksekutif dan legislatif.



Kebijakan afirmatif

Sementara itu, katanya, Pemda DKI Jakarta perlu mengeluarkan kebijakan afirmatif misalnya dengan memberikan kuota tertentu bagi orang Betawi dalam rekrutmen pegawai Pemda sehubungan partisipasi kader Betawi di birokrasi Pemda Jakarta saat ini masih kurang.

"Seharusnya memang ada `affirmative policy` buat Betawi di pemprov. Misalnya dari 500 pegawai baru harus ada 100 orang Betawi. Praktek ini terjadi di semua tempat. Kalau tidak bukan mustahil makin sedikit kader Betawi di dalam lingkungan Pemprov DKI," katanya.

Namun, ia mengingatkan agar orang Betawi pun harus berupaya sendiri antara lain dengan meningkatkan sumber daya manusia (SDM), khususnya generasi mudanya agar siap bersaing di semua sektor.

Masyarakat Betawi pada saat ini, menurut sejumlah kalangan, juga harus bersatu dan menolak jika ada upaya memecah belah jika menginginkan menjadi kelompok masyarakat yang kuat. Bila warga asli sudah terpecah-belah dan sering berseteru, maka akan mudah dimasuki dan dikuasai oleh pihak-pihak dengan kepentingan tertentu.

Terbentuknya sejumlah ormas Betawi selain bisa dimaknai positif, juga bisa negatif seperti adanya upaya pengkerdilan organisasi itu. Persatuan yang diharapkan tercipta dengan terbentuknya sejumlah ormas itu, malah menunjukkan, disengaja atau tidak, terjadinya perpecahan.

Dalam kemajuan kota Jakarta juga terdapat hal-hal lain yang perlu diperhatikan seperti suara warga Betawi dari pemimpin Jakarta dalam urusan mereka. Tokoh masyarakat Betawi dari pemerintahan perlu diajak berkomunikasi mengenai arah kepemimpinan Jakarta.

Budayawan Betawi Ridwan Saidi bahkan pernah mengatakan pelestarian komunitas Betawi harus menjadi agenda penting dalam pembangunan ibukota Jakarta guna membantu orang Betawi melestarikan budayanya.

"Ada baiknya perencanaan pembangunan daerah memikirkan pelestarian komunitas Betawi, karena tanpa komunitas tak mungkin kebudayaan dapat dilestarikan," katanya.

Pertanyaan tentang keberadaan orang Betawi di "Jakarta Baru" tersebut bukan bermaksud mempermasalahkan kesukuan dalam kehidupan bernegara. Namun, itu diharapkan bisa menjadi upaya untuk mempertahankan kebhinekaan, yang merupakan salah satu pilar kebangsaan Indonesia.

(A023)