Jakarta (ANTARA) - Garam, alias natrium klorida, telah digunakan untuk mengawetkan makanan dan meningkatkan cita rasa selama ribuan tahun, namun, apakah garam benar-benar dapat membahayakan kesehatan?

Laman The Guardian, Minggu (5/11), melaporkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) merekomendasikan untuk membatasi asupan garam seseorang sebanyak 5 gram per hari, bahkan lebih rendah lagi jika memungkinkan. Menurut sejumlah besar bukti, konsumsi garam dalam jumlah besar berkaitan dengan tekanan darah tinggi, yang pada gilirannya merupakan faktor risiko penyakit jantung dan stroke.

Garam secara teknis adalah natrium klorida. Natrium menyebabkan sebagian besar efek buruknya, itu sebabnya mengapa sejumlah merk garam di Amerika cenderung menggembar-gemborkan pilihan rendah natrium.

"Pada dasarnya ini adalah bentuk racun jangka panjang dan kronis," kata profesor kedokteran kardiovaskular dan presiden British Hypertension Society, Graham MacGregor.

"Tekanan darah adalah faktor besar dalam kesehatan seiring bertambahnya usia, dan kami melihat bukti bahwa kelebihan garam akan meningkatkan tekanan darah selama masa hidup Anda,” kata dia menambahkan.

Baca juga: Dokter jantung bagikan kiat diet pasien hipertensi

Baru-baru ini, kelebihan garam juga dikaitkan dengan diabetes tipe 2. Orang-orang yang selalu atau biasanya menambahkan garam ke dalam makanan mereka menunjukkan risiko 39 dan 20 persen lebih tinggi terkena kondisi ini dibandingkan mereka yang jarang atau tidak pernah menambahkan garam.

Seperti yang dicatat oleh British Heart Foundation, 75 persen dari garam yang kita makan ditambahkan bahkan sebelum makanan kita sampai ke piring.

Pada awal tahun 2000-an, Inggris adalah pemimpin dunia dalam hal pengurangan garam, dengan Food Standards Agency (FSA) yang memberlakukan batasan ketat tentang seberapa banyak garam yang boleh dimasukkan ke dalam sebagian besar produk.

Namun, pada tahun 2010, dengan munculnya Kesepakatan Tanggung Jawab yang diperkenalkan pemerintah, industri makanan yang justru memimpin dalam proses tersebut, dengan batasan kadar yang menjadi bersifat sukarela.

Sekarang, bahkan merek yang ingin mengurangi kandungan garam dalam produk mereka pun terhamba, karena garam dianggap masyarakat selain menjadi salah satu bentuk penyedap rasa termurah yang tersedia, juga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan.

"Seperti yang dikatakan oleh seorang kolega saya pada saat itu, menyerahkan hal ini kepada produsen sama saja dengan menempatkan Drakula sebagai penanggung jawab bank darah," kata MacGregor.

"Beberapa supermarket menginginkan penegakan yang lebih baik, tetapi, itu harus datang dari atas (pemerintah),” MacGregor menambahkan.

Baca juga: Hipertensi pada remaja dipengaruhi gaya hidup

Jawabannya adalah bahwa ini adalah salah satu masalah kesehatan yang mungkin harus dikhawatirkan secara kolektif karena masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengatasi asupan garam kita sendiri.

Jika cukup mampu, dalam hal waktu dan keuangan, seseorang dapat mengambil langkah-langkah seperti memasak sebagian besar makanan sendiri dari awal, menghindari makanan siap saji dan mengurangi jumlah garam yang ditambahkan ke dalam makanan.

Bawang putih, misalnya, dapat menurunkan tekanan darah, dan bukan meningkatkannya. Seseorang juga dapat meningkatkan asupan buah dan sayuran, karena ada bukti terbaru bahwa kalium di dalamnya memiliki efek perlindungan terhadap garam. Indra pengecap akan menyesuaikan diri seiring berjalannya waktu.

"Pada satu titik, FSA berhasil menurunkan jumlah garam yang dapat ditambahkan ke dalam makanan, dan hampir seluruh asupan garam di seluruh negeri turun tanpa ada yang benar-benar menyadari ada yang berubah," kata MacGregor.

Baca juga: Ahli Gizi: Atur konsumsi harian saat Lebaran dengan pola GGL 415

Baca juga: Dokter anjurkan masyarakat konsumsi GGL sesuai kebutuhan tubuh

Baca juga: Kemenkes: Tekan penyakit tidak menular dengan kontrol konsumsi gula