Pekanbaru (ANTARA News) - Musim kemarau 2013 di sebagian besar wilayah Provinsi Riau memberikan nuansa yang sama dengan kemarau-kemarau di tahun sebelumnya. Kebakaran hutan penyebab kemunculan kabut asap terus menjadi catatan `rapor merah` bagi bangsa ini.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru pada Selasa (18/6), menyatakan, dalam beberapa pekan terakhir sejak Riau memasuki musim kemarau, telah terjadi peningkatan jumlah titik panas (hotspot) yang begitu tajam.

Analis lembaga pemantau dan pengamat cuaca itu, Warih Budi Lestari, mengatakan, pada Senin (17/6), jumlah `hotspot` untuk wilayah Sumatera ada sebanyak 113 dan terbanyak berada di wilayah Provinsi Riau yakni mencapai 106 titik panas.

Sementara lebihnya menurut catatan satelit "National Ocean and Atmospheric Administration (NOAA) 18, berada di Jambi dengan jumlah tiga titik, kemudian Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Lampung masing-masing terdapat satu `hotspot`.

Warih merincikan, titik panas di Provinsi Riau ketika itu tersebar di delapan kabupaten dan kota. Seperti di Kabupaten Rokan Hilir, terdeteksi ada sebanyak 19 titik panas, kemudian Pelalawan ada sekitar 26 titik.

Selanjutnya untuk Kabupaten Siak terdeteksi sebanyak 18 titik panas, Bengkalis 16 `hotspot`, serta Kota Dumai ada sembilan titik, dan Meranti juga Pekanbaru masing-masing satu `hotspot`.

Kemudian pada Selasa (18/6), satelit NOAA 18 kembali mendeteksi kemunculan titik panas dengan jumlah yang jauh lebih banyak, yakni mencapai 187 dan tersebar di sejumlah wilayah di Sumatera.

Terbanyak menurut analis masih berada di Provinsi Riau yakni mencapai 148 `hotspot` yang tersebar hampir di seluruh wilayah kabupaten dan kota.

Warih mengatakan bahwa selain Riau titik panas juga terdeteksi NOAA berada di Sumatera Barat sebanyak lima titik, Sumatera Selatan (6 titik), kemudian Bengkulu dan Lampung masing-masing satu `hotspot`.

Selanjutnya, demikiana Warih, titik panas juga berada di Provinsi Jambi sebanyak 26 titik yang juga tersebar di berbagai wilayah kabupaten dan kota.

Sementara untuk Riau, kata dia, ke-148 `hotspot` tersebar di sepuluh wilayah kabupaten dan kota, di antaranya Rokan Hilir ada sebanyak 32 titik, Rokan Hulu (23 titik), Siak (21), Pelalawan (20), Indragiri Hilir (18), Bengkalis (17), Indragiri Hulu (8), dan Kampar (7), serta Kuantan Singingi dan Kota Dumai masing-masing satu titik panas.

"Dominanan titik panas tersebut merupakan peristiwa kebakaran hutan atau lahan hingga mengakibatkan terjadinya pencemaran udara yang begitu hebat," kata Warih.


Pencemaran Hebat

Secara langsung, demikian Warih, kemunculan titik panas yang begitu banyak menyebabkan lingkungan menjadi tercemar kabut asap tebal, khususnya di sejumlah wilayah yang mengalami kebakaran hutan atau lahan secara hebat.

"Seperti Rokan Hilir, Pelalawan, Bengkalis, tiga daerah ini dipastikan terkena dampak kabut asap terparah. Namun untuk Pekanbaru belum begitu parah," katanya.

Bahkan sempat dikabarkan, akibat peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, menyebabkan lingkungan udara di beberapa negara seperti Malaysia dan Singapura menjadi tercemar asap.

Situs web Badan Lingkungan Nasional (NEA) Singapura menyatakan, kabut asap di negara itu telah muncul sejak Senin (17/6).

Indeks Standar Polutan Udara (ISPU) di negara tersebut menujukkan level 80 atau dikategorikan sedang, dimana pada level indeks di atas 100 dianggap sudah tidak sehat.

Kabut itu terlihat di jalan-jalan di kawasan pusat bisnis Singapura tetapi sejauh ini tidak mempengaruhi bisnis atau transportasi udara.

Warga berpenyakit jantung dan paru-paru, serta mereka yang berusia lebih dari 65 dan anak-anak disarankan pemerintah di negara itu untuk tidak terlalu lama berada di tempat terbuka atau di luar ruangan.

Selain Singapura, Malaysia juga telah terpengaruh oleh masalah kabut asap yang berulang terjadi pada musim kemarau sebagai akibat kebakaran hutan di kepulauan Indonesia khususnya Sumatera.

Kabut asap mencapai level yang tidak sehat di Malaysia selama akhir pekan. Pada Senin (17/6), indeks polutan udara di Malaysia menunjukkan level yang tidak sehat antara 102 dan 121 di negara bagian Pahang, Terengganu dan Malaka.

Sementara di Ibu Kota Kuala Lumpur, dikabarkan langit tetap berkabut dengan indeks menunjukan angka 82 yang berarti cukup tidak sehat.

Terkait peristiwa `tak sedap` ini, pemerintah mengaku telah melakukan berbagai upaya mulai dari lintas pemerintah pusat, daerah bahkan sektoral. Namun dirasa belum optimal dalam mengatasi permasalahan ini.

Kondisi ini dibuktikan dengan masih maraknya kasus kebakaran dan pembakaran lahan oleh masyarakat dan perusahaan di Provinsi Riau.


Kerugian Dahsyat

Pemerhati Lingkungan Hidup dan Kesehatan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah Provinsi Riau sejauh ini telah mendatangkan kerugian yang teramat dahsyat.

Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan tersebut, kata dia, memberikan tiga dampak negatif, yakni tercemarnya lingkungan, terganggunya kesehatan manusia dan melemahkan roda perekonomian bangsa.

"Partikel yang terkandung pada asap sisa kebakaran hutan dan lahan terpecah menjadi tiga bagian, di antaranya yakni pertikel yang sangat halus.

Partikel ini sangat mudah terbawa oleh angin dan menyebabkan meluasnya pencemaran akibat dari kebakaran tersebut," ujarnya.

Dikatakan Amri, jika sisa partikel halus ini sampai menyentuh kawasan hutan dan pepohonan pada taman kota, maka udara dapat tersaring, zat-zat berbahaya yang sebelumnya terbawa menempel di dedaunan pepohonan yang dilintasi.

"Akan tetapi, jika suatu daerah yang dilanda kebakaran hutan dan lahan tidak memiliki luasan hutan alami dan tanaman pepohonan yang mencukupi, maka penyebaran partikel berbahaya bisa sangat jauh bahkan hingga menjangkau permukiman penduduk," tuturnya.

Apabila hal demikian terjadi, menurut Amri, maka partikel halus tersebut juga akan mencemari perairan baik di sungai maupun pada sumber air yang menjadi konsumsi masyarakat.

Kondisi ini, kata Amri, juga dapat membahayakan kesehatan manusia, terlebih jika manusia itu menghirup udara dan mengonsumsi air yang telah tercemar secara langsung.

Udara dan air yang telah tercemar secara langsung, menurut Amri, akan mampu mengotori paru-paru serta menghambat saluran pernafasan serta peredaran darah manusia pengonsumsinya.

Lain dari itu, menurut pemerhati ini, kandungan asap dan partikel halus berbahaya yang terbang lebih tinggi bersama udara jika mencapai "sarang" awan penghujan, maka juga akan mampu mengotori embun atau air hujan yang dihasilkan oleh gumpalan awan penghujan.

"Air hujan yang tercemar oleh partikel asap ini juga berbahaya jika dikonsumsi secara langsung oleh manusia mengingat kandungan zat asamnya yang sangat tinggi dan dapat mendatangkan kanker pada tubuh manusia," katanya.


Partikel Sedang

Kemudian, menurut Ariful Amri, dampak kebakaran hutan dan lahan juga akan menghasilkan partikel berbahaya dengan ukuran sedang.

Partikel berbahaya berukuran sedang ini, kata dia, dapat menyebabkan tertutupnya ruang udara hingga membatasi jarak pandang manusia. Akibat dari partikel sedang ini, berbagai aktifitas lalu lintas baik darat, udara maupun laut dapat terganggu.

Kemunculan partikel sedang ini juga akan memperparah pencemaran pada perairan yang menjadi lintasannya, kata Amri. Kemudian, asap abu juga akan menutup permukaan dedaunan pada pepohonan hingga menyebabkan kerusakan fauna.

"Pada intinya, kasus atau bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini tidak ada yang menguntungkan dan bahkan mendatangkan kerugian yang tak ternilai," ucapnya. Pada tingkatan akhir hasil dari kebakaran hutan dan lahan, kata Amri, yakni partikel dengan ukuran yang besar.

"Partikel satu ini jarak penyebarannya cukup pendek karena zat yang terkandung cukup berat sehingga tidak mampu terhembus oleh udara yang bertiup normal," ujarnya.

Kendati demikian, kata dia, partikel ketiga ini juga dapat mendatangkan kerugian di segala aspek, baik lingkungan dan kesehatan manusia.

"Namun yang patut kita waspadai pada kasus kebakaran hutan dan lahan ini, adalah punahnya keanekaragaman hayati. Hal ini tidak tergantikan dengan sesuatu apa pun, bahkan materi juga tidak mampu mengukurnya," kata Amri.


Keanekaragaman Hayati

Pada keanekaragaman hayati, menurut Amri, termasuk segala jenis binatang atau hewan yang hidup di dalam air, tanah dan hutan, seperti siput, cacing, ular, serangga dan berbagai jenis reptil lainnya.

Berbagai jenis fauna ini merupakan penyeimbang alam, dan jika kelestariannya terganggu, maka hewan-hewan ini secara individu akan melemah dan membuat alam dan lingkungan menjadi tidak lagi seimbang.

"Kondisi ini yang sebenarnya paling dikhawatirkan, karena hilangnya keanekaragaman hayati baik flora dan fauna adalah kerugian yang tidak ternilai harganya atau tidak bisa diukur dengan uang atau bentuk materi apapun," ucapnya.

Kembali kata Tengku Ariful Amri, kerugian lain yang diakibatkan peristiwa kebakaran hutan dan lahan penyulut munculnya kabut asap, yakni jatuhnya martabat bangsa di tataran internasional. Kondisi ini disebabkan tidak pernah terselesaikannya kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan di tanah air.

Dari catatan dan evalusasi sejarah bangsa ini, kata Amri, sejak Juni 2007 hingga saat ini, pemerintah tidak pernah menyelesaikan atau menuntaskan kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan di tanah air.

"Kondisi ini menggambarkan lemahnya pemerintah dalam melindungi negara pada aspek lingkungan hidup, khususnya pada kasus kebakaran hutan yang rutin terjadi di sebagian besar wilayah tanah air," katanya.

Kondisi ini menurut Amri sangat disayangkan, mengingat sejumlah negara lain yang sebelumnya juga rawan kebakaran hutan dan lahan seperti Malaysia, Thailand, bahkan sejumlah negara di Eropa dan Afrika, terbukti telah mampu meminimalisir kebakaran bencana yang dominan disebabkan oleh kurangnya kepedulian manusia ini.

"Bagaimana pun, negara-negara asing akan memandang Indonesia sebagai negara dengan tingkat kelalaian tertinggi serta kondisi hukum yang lemah," katanya.

Jika kondisi ini tidak diubah, kata Amri, maka dikhawatirkan bangsa ini akan mengalami krisis globalisasi yang menyangkut segala sektor, yakni lingkungan, kesehatan dan hukum.

Kondisi itu kemudian menurutnya juga akan menempatkan Indonesia sebagain negara tertinggal di dunia yang secara tidak langsung akan mempengaruhi derajat martabat bangsa ini. (FZR)