Jakarta (ANTARA News) - Fraksi PKS DPR RI bersikap konsisten menolak rencana pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi sehingga tidak perlu ada bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).

"Sikap PKS ini merupakan keputusan rapat Majelis Syuro dan DPTP (Dewan Pimpinan Tinggi Partai) yang bersifat mengikat," kata Angggota Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.

Menurut Hidayat Nur Wahid, pada rapat paripurna DPR RI yang mengagendakan pengesahan RUU APBN Perubahan 2013, Fraksi PKS akan menyampaikan postur APBN Perubahan tandingan, dengan hitungan BBM tidak perlu naik, tapi perlu melakukan langkah meningkatkan sumber-sumber pemasukan negara tanpa membebani rakyat.

Anggota Komisi I DPR RI ini mencontohkan jika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsdi maka dampaknya terjadi inflasi yang dirasakan oleh seluruh Bangsa Indonesia.

"Jika pemerintah memberikan BLSM hanya membantu 15 juta jiwa rakyat miskin dan hanya dalam waktu tiga bulan, padahal orang miskin di Indonesia lebih dari 50 juta jiwa. Ini berarti tidak adil," katanya.

Hidayat menuturkan Fraksi PKS mengusulkan solusi dengan meningkatkan penerimaan negara yang tidak membebani rakyat, seperti menaikkan pemasukan dari sektor pajak, seperti pajak kendraan bermotor.

Hidayat menilai dalam UUD 1945 pasal 33 mengatur bahwa, fakir miskin dipelihara negara sehingga bantuan tang diberikan pemerintah untuk rakyat miskin bukan sementara, tapi seterusnya.

"Jika pemerintah hanya memberikan bantuan untuk rakyat miskin hanya sementara menjelang pemilu, maka bisa terkait dengan kepentingan politik," katanya.

Ketika ditanya tentang sikap tiga menteri PKS di kabinet, Hidayat mengatakan bahwa tiga menteri PKS tidak terikat untuk menolak atau menerima rencana pemerintah menaikkan harga BBM.

Tiga menteri PKS di kabinet, menurut dia, adalah pembantu presiden yang menyepakati "court of conduct" dengan presiden.

Mantan Ketua MPR RI ini juga menegaskan PKS tidak punya ruang untuk menarik tiga menteri, karena hak itu merupakan kewenangan presiden untuk mempertahankan atau mengganti menterinya.