Jakarta (ANTARA News) - Minggu pagi kemarin, seluruh direksi dan komisaris PT Perkebunan Nusantara VIII berkumpul di Kebun Jalupang, Subang, Jawa Barat. Bersama mereka saya ingin menyaksikan sendiri bagaimana realisasi program kebun buah tropik yang dicanangkan tahun lalu.

Ternyata saya diminta memanen pisang baranang. "Lho sudah panen?" Tanya saya. Ternyata memang sudah panen. Tahun ini nanti sudah menghasilkan 700 ton. Begitu cepatnya. Saya sungguh senang karena ide bikin kebun buah tropik tidak hanya berhenti di wacana. Benar-benar sudah dilaksanakan. PTPN VIII sudah menanam 1.200 hektare. Dan, masih terus bertambah luasannya.

Maka, di Subang itu kita melihat pohon pisang berjajar di sela-sela pohon karet yang masih kecil.

Jarak antartanaman karet itu enam meter. Sejak dahulu tanah sela selebar 6 meter itu dibiarkan mubazir ditumbuhi rumput. Tanah kosong itulah yang kini ditanami pisang. Setelah panen lima kali kebun pisangnya berakhir. Pada saat itu pohon karetnya sudah tinggi. Kebetulan, pisang yang sudah panen lima kali sudah tidak baik diteruskan. Anak pisang yang ke-6 sudah tidak baik kualitasnya.

Tiap tahun PTPN VIII menanam pohon karet ribuan hektar. Berarti selalu ada lahan ribuan hektar yang bisa ditanami pisang setiap tahun. Jenis pisang yang ditanam ini adalah cavendis dan baranang, hasil penemuan Prof.Dr.Ir. Sobir dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Dr. Sobir juga bergabung dengan kami di Subang kemarin. Dialah yang memprovokasi saya untuk menanam pisang baranang besar-besaran. "Kalau Indonesia impor buah apel atau anggur saya masih bisa maklum," ujar Dr. Sobir.


"Tapi kalau sudah impor pisang, benar-benar keterlaluan," katanya.

"Sebentar lagi impor pisang harus diharamkan," tambah Dr. Sobir.

Tidak hanya pisang. PTPN VIII juga sedang menanam pepaya calina besar-besaran. Dan, ternyata juga sudah panen. PTPN VIII memang memiliki lahan 114.000 hektare di seluruh Jabar. Pepaya calina itu juga penemuan Dr. Sobir dan tim IPB. Di samping panen pisang, Minggu pagi kemarin itu saya juga diminta menanam pepaya calina di sela-sela tanaman karet yang baru berumur satu bulan.

Pokoknya tidak ada hari yang tidak menanam pisang, pepaya, manggis, durian, dan alpukat. "Kita juga malu durian saja impor," kata Dr. Sobir.

Beda dengan program sapi-sawit, kebijakan baru BUMN ini sama sekali tidak menjadi beban bagi PTPN VIII. "Ini momentum yang sangat menguntungkan kami," ujar Ir. Dadi Sunardi, Direktur Utama PTPN VIII.



"Dahulu kebun karet baru menghasilkan setelah enam tahun. Sekarang sudah ada uang masuk pada bulan ke-8," tambahnya.




"Dahulu sela-sela pohon karet itu memakan biaya untuk pengaturan rumputnya. Kini, sela-sela karet itu menghasilkan," katanya lagi.

Meski saya hanya haruskan menanam buah tropik di Jabar, Dirut PTPN XII Jawa Timur Ir. Irwan Basri punya inisiatif sendiri. Irwan ingin menjemput bola. Irwan juga sudah menanam buah tropik di Banyuwangi. Pisangnya yang sudah 700 hektare juga sudah panen. Bahkan, PTPN XII juga menanam buah macadamia yang enak itu. Saya memang sempat terkesan dengan macadamia di Thailand. Kini, saya sudah bisa tidak hanya memuji Thailand. Kita juga sudah mulai menghasilkan macadamia sendiri seluas 170 hektare.

Tentu saya memuji langkah proaktif PTPN XII di Banyuwangi itu. Sebenarnya PTPN XII hanya diwajibkan mengembangkan dua hal: menanam sorgum besar-besaran dan membangun pabrik gula baru yang serba modern dan 100 persen made in Indonesia. Ternyata PTPN XII sudah menanam sorgum seluas 1.500 hektare dan siap panen. Info ini juga sekaligus untuk menjelaskan pertanyaan penulis artikel di sebuah harian di Jakarta yang mengira soal sorgum baru muter-muter sebagai wacana.

Yang juga siap panen adalah sorgum di Atambua, NTT. Luasnya 200 hektare. Ini merupakan uji coba untuk tanaman sorgum milik rakyat dengan tujuan yang multiguna. Tepung atau biji sorgumnya untuk makanan pokok rakyat. Batangnya untuk menghasilkan ethanol. Ampasnya untuk makanan ternak.

Ethanol akan dipakai sebagai pengganti minyak tanah untuk masak. Penduduk di pedalaman NTT yang miskin itu selalu kesulitas minyak tanah sehingga pilihan lainnya adalah sama buruknya: menebang pohon.

Perseron Terbatas (PT) Batan Teknologi (yang akan ganti nama menjadi PT Industri Nuklir Indonesia) adalah penanggung jawab proyek sorgum di NTT ini. Benih unggulnya memang dilahirkan melalui proses nuklir. Untuk memproses hasil panen sorgum itu Batantekno segera mendidik puluhan anak SMK Atambua untuk membuat mesin sederhana pembuat ethanol. Mereka akan dididik di Jakarta mulai akhir bulan ini. Begitu masa pendidikan itu selesai, sorgumnya siap dipanen.

"Anak-anak SMK itu mampu membuat dan mengoperasikan mesin pembuat ethanol," ujar Dr. Yudiutomo Imardjoko Dirut PT Batantekno. "Anak-anak SMK itu juga akan membuat kompor ethanol dan membuat mesin pengolah biji sorgum," ujar Dr. Yudiutomo, ahli nuklir lulusan UGM dan Amerika itu.

Kalau proyek sorgum 200 hektare ini berhasil, akan segera dimulai proyek-proyek "sorgum 200 hektare" lainnya di seluruh Atambua dan kabupaten sekitarnya. Paket 200 hektaran sudah disesuaikan dengan skala ekonomi yang tepat untuk kepentingan kehidupan satu desa di sana. Pertamina dan Askes sudah siap mengucurkan dana CSR untuk membantu daerah yang sangat miskin itu.

Tentu saya juga ke Wonogiri. Belajar dari Bupati Wonogiri Danar Rahmanto untuk programnya yang unik: singkong. Hampir seluruh penduduk Wonogiri menanam singkong di tegalan atau pekarangan rumah mereka. Tapi singkongnya, ya, itu-itu saja. Sejak zaman baheula sampai zaman Jokowi ini. Dua minggu lalu saya ke Wonogiri untuk melihat yang lain: singkong gajah. Inilah singkong yang akan dimasalkan di seluruh Wonogiri.

Saya diizinkan mencabut batang singkong di pekarangan rumah penduduki. Beratnya hanya 1,5 kg. Pohonnya kecil dan tangkai daunnya hanya tujuh buah. Tiap daun juga hanya berjari lima.

Tahun ini bupati akan membagikan lima juta bibit singkong gajah. Kebun percontohan seluas 5 hektare sudah membuktikan hasilnya. Saya masuk ke kebun singkong gajah itu: tingginya melebihi tubuh saya. Satu batang singkong memiliki 20 tangkai. Tiap tangkai daunnya berjari sembilan. Mestinya ini juga bisa disebut singkong NU yang berbintang sembilan.

Saya tidak kuat mencabutnya. Beberapa petani membantu menyingkapkan tanah. Setelah dicabut tiga orang, terlihatlah singkongnya memang besar-besar dan panjang-panjang. Beratnya 12 kg! Kandungan tapiokanya pun mencapai 30 persen. Ini sangat berbeda dengan singkong tradisional Wonogiri yang rendemennya hanya 16 persen.

Dengan bibit yang baru ini, sama artinya dengan meningkatkan pendapatan warga Wonogiri empat kali lipat. Wonogiri memang akan tetap dikenal sebagai Kabupaten Singkong. Namun, bukan lagi singkong yang kurus dengan hasil yang hanya 1,5 kg per batang.

Saya mengajak para dirut pabrik pupuk BUMN, termasuk dirut Holding Company PT Pupuk Indonesia Arifin Tasrif. Saya minta program itu didukung dengan penyediaan pupuk yang cocok untuk singkong. Tahun lalu, saya juga minta pabrik pupuk BUMN membantu kesulitan petani tembakau di Jember. Mereka harus membeli pupuk dari Eropa yang mahal. Kini, BUMN sudah memproduksi pupuk untuk tembakau.

Tentu menemukan pupuk untuk singkong lebih mendesak. Setidaknya bisa ikut meringankan program Bupati Wonogiri yang kini lagi pusing dengan urusan politik. Bupati lagi diinterpelasi DPRD-nya. Penyebabnya: jumlah penduduk Wonogiri turun 200.000 jiwa, menjadi tinggal kira-kira 800.000 jiwa. Lantaran jumlah penduduknya tidak lagi mencapai satu juta jiwa, maka harus ada pengurangan jumlah anggota DPRD.

Menurut UU, kabupaten yang penduduknya lebih satu juta anggota DPRD-nya 50 orang. Kurang satu juta hanya 45 orang. Nah, Bupati Wonogiri dianggap sebagai penyebab berkurangnya jumlah anggota DPRD di sana.

Berkurangnya jumlah anggota DPRD rupanya tidak memuaskan meski jumlah produksi singkongnya akan bertambah.



*Menteri BUMN