Jakarta (ANTARA) - Upaya mewujudkan sistem ekonomi sirkular seringkali menemui kendala karena tidak semua sampah dapat didaur ulang dengan nilai ekonomi yang tinggi. Sampah plastik dapat didaur ulang menjadi bijih plastik kembali, demikian pula sampah kertas dapat diolah menjadi bubur kertas.

Sampah logam, bahkan dapat menjadi bijih besi kembali dengan nilai ekonomi tinggi. Ketiganya, kini tak lagi dipandang sebagai sampah, tetapi sebagai sumber bahan baku industri plastik, kertas, dan besi.

Namun, sampah organik seringkali tidak dilirik karena bernilai ekonomi rendah. Pengolahan sampah organik biasanya hanya berujung menjadi pupuk kompos yang harga jualnya rendah.

Sampah organik pun masih dianggap sebagai problem hingga saat ini. Pada lingkungan perkotaan yang padat, sampah organik memicu bau menyengat karena proses pembusukan yang membentuk air lindi.

Kondisi ini belum diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran yang memadai untuk mengolah potensi sampah organik rumah tangga. Di kawasan perkotaan, limbah organik berasal dari rumah tangga, mall atau pusat perbelanjaan, pasar tradisional, rumah makan, dan perkantoran.

Setiap hari sebuah mall di Bandung, misalnya, menghasilkan sampah sebanyak 5 ton, dengan komposisi 90 persen di antaranya berupa sampah organik yang tidak dilirik perusahaan pengolah sampah. Itulah sebabnya sampah organik mendominasi timbulan sampah yang menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

Di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) terdapat TPA Rawa Kucing di Kota Tangerang yang rata-rata menampung sampah 1.600-2.000 ton per hari.

Demikian pula TPA Cipayung, Depok, menerima 1.100 ton per hari. Sementara TPA Galuga 2.800 ton per hari. Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, menerima sekitar 6.500 hingga 7.000 ton sampah per hari, sehingga menjadi TPA yang terbesar kapasitasnya.

Sampah yang dikirim ke TPA ini belum semuanya dipilah antara sampah organik dan nonorganik. Lazimnya proporsi sampah organik di semua TPA itu mencapai 80-90 persen.

Bayangkan, jika komponen organiknya bisa dikonversi menjadi produk yang memiliki nilai tambah bagi petani dan peternak. Tentunya ini merupakan potensi yang luar biasa.

Biokonversi limbah rumah tangga menjadi media untuk produksi pakan alternatif, seperti maggot dan jangkrik, dapat menjadi solusi untuk mengurangi sampah organik. Keduanya menjadi pakan alternatif untuk pets, ternak, maupun ikan hias.


Maggot dan jangkrik

Maggot dan jangkrik semakin dicari dan kebutuhannya terus meningkat karena harga komponen bahan pembuat pakan, seperti jagung dan dedak, harganya terus melangit serta semakin langka di pasaran.

Maggot dan jangkrik juga mengandung komponen aditif yang dapat meningkatkan kadar nutrisi, terutama dari sampah organik berupa meat bone meal (MBM). MBM banyak digunakan untuk ransum atau bahan penyusun pakan hewan ternak, seperti unggas, ikan, dan babi.

MBM selama ini dipenuhi dari impor sebanyak 800 ribu ton per tahun. Indonesia masih belum dapat memproduksi MBM karena bahan utama dari sisa daging dan tulang yang masih dikonsumsi oleh masyarakat.

Maggot yang merupakan larva dari lalat buah dari jenis Black Soldier Fly (BSF) adalah komponen yang dapat digunakan untuk substitusi MBM.

Maggot memenuhi syarat sebagai pakan ternak dan hewan karena komposisi nutrisi terpenuhi, harga bersaing, dan ketersediaan banyak. Produksi maggot juga cepat. Satu ekor lalat BSF dapat menghasilkan 500 maggot dalam sekali reproduksi. BSF juga bukan serangga vektor penyakit, sehingga aman.

Demikian pula jangkrik budi daya dapat menjadi alternatif pakan. Jangkrik merupakan salah satu hewan yang mempunyai potensi sangat besar menjadi sumber pakan alternatif karena berkadar protein tinggi.

Jangkrik olahan bisa digunakan sebagai pakan ayam pedaging, ayam petelur, burung, dan ikan karena memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Protein kasarnya berkisar 50–60 persen. Jangkrik juga dapat digunakan langsung sebagai pakan dan makanan. Penggunaan tepung jangkrik, bahkan sudah banyak diteliti.

Penelitian–penelitian tersebut mengungkap tepung jangkrik dapat digunakan sebagai pakan. Tepung jangkrik menjadi solusi alternatif ketika harga konsentrat pakan melambung tinggi. Sumber nutrisi yang berasal dari maggot dan jangkrik merupakan alternatif solusi bagi petani ikan dan peternak.

Yang menarik, keluarga Gryllidae itu tergolong ke dalam serangga layak santap (edible insects) dan telah dikenal di banyak negara. Di perdesaan Jawa, jangkrik bakar atau sangrai sudah sejak lama dijadikan kudapan tradisional.

Jangkrik juga dikenal sebagai makanan sumber protein di negara-negara lain, terutama di Asia, diantaranya di Negara Thailand, Kamboja, Tiongkok, Korea, dan Jepang. Negara-negara di Benua Amerika dan Australia juga belakangan mulai mencoba mengonsumsi penganan ini.

Ulasan ilmiah dalam Frontiers in Nutrition (2020) mengungkap sebagian besar jangkrik yang dapat dimakan mengandung protein lebih tinggi daripada sumber protein hewani yang umum, seperti kambing dan ayam.

Tubuh dapat mencerna proporsi protein dari jangkrik yang sedikit lebih rendah daripada telur, susu, atau daging sapi. Namun, itu juga menunjukkan bahwa tubuh mencerna protein jangkrik lebih baik daripada sumber protein nabati yang populer, seperti beras dan jagung.

Sumber dari Healthline menyebutkan bahwa bubuk protein jangkrik mengandung sekitar 65,5 persen protein.

Beberapa spesies jangkrik terdiri dari sumber protein lengkap, yang mengandung sembilan asam amino esensial dalam porsi ideal. Hewan ini memiliki mikro nutrisi lainnya, seperti kalsium, kalium, zinc, magnesium, tembaga, folat, biotin, asam pantotenat, dan zat besi.

Sebuah riset yang diterbitkan dalam Scientific Reports (2018) mengungkap konsumsi jangkrik dapat meningkatkan kandungan bakteri menguntungkan Bifidobacterium animalis hingga 5,7 kali di usus manusia.

Biokonversi sampah organik menjadi serangga untuk pakan menjadi alternatif pemanfaatan sampah organik yang selama ini hanya melulu menjadi kompos untuk pertanian.


*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB University dan Kandidat doktor di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca-Sarjana, IPB University