Batam (ANTARA News) - Kode Etik Jurnalistiik (KEJ) 2006 yang berlaku nasional tidak mewajibkan penginisialan nama tersangka atau tertuduh kecuali bagi korban kekerasan seksual, atau terhadap pelaku kriminal yang masih berumur di bawah 16 tahun. Penulisan nama tersangka atau tertuduh dengan inisial tidak berlaku di berbagai negara dan dari sisi jurnalistik juga salah karena menjadikan suatu berita tidak informatif, tetapi keputusan menulis dengan nama lengkap atau inisial, terpulang kepada kebijakan redaksi, kata Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Center di Jakarta, Atmakusumah Astraatmadja dalam sosialisasi KEJ 2006 di Batam, Sabtu. Dikatakan, beberapa media terkemuka di dalam negeri yang semula menginisialkan nama tersangka atau tertudu, kini menuliskan nama lengkap, sedang yang lain masih mempertahanan kebijakan penginisialan. Menurut Atmakusumah, menulis lengkap nama orang yang berada dalam posisi sebagai tersangka atau tertuduh, tak bermasalah sebab yang terpenting dalam pemberitaan itu nama yang bersangkutan ditulis lengkap dengan statusnya sebagai tersangka atau tertuduh, dan sebaiknya hal itu sudah dilakukan sejak dari judul. Penulisan status sejak dalam judul dianggapnya penting supaya tidak lagi ada judul yang rancu, misalnya "Penembak A Bebas", padahal yang dimaksudkan dalam tubuh berita adalah "Tersangka/Tertuduh Penembak A Bebas". Soal penulisan nama dengan inisial , katanya, di lain sisi harus dilakukan media demi melindungi korban kekerasan seksual, maupun terhadap pelaku kriminal yang masih berusia di bawah 16 tahun. Media, dalam memberitakan anak yang menjadi korban pemerkosaan keluarga dekat (ayah, kakak, paman) tak etis memberitakan dengan rinci identitas pelaku, sebab dengan memaparkan secara lengkap berarti membuka tabir aib korban yang kepentingan masa depanya harus dilindungi. Dewan Pers, 14 Maret 2006 menetapkan KEJ yang disepakati 29 organisasi kewartawanan terdiri dari 11 pasal, menggantikan Kode Etik Wartawan Indonesia 2000 hasil kesepakatan 26 opganisasi kewartawanan dan terdiri dari 7 pasal. Salah satu pasal dalam KEJ 2006 yaitu pasal 6 menyebutkan "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap." Istilah suap ditafsirkan secaran resmi dalam rumusan kode etik itu sebagai "segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasiltas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi." Atmasukusumah mewanti-wanti wartawan supaya menghindari menerima amplop ketika meliput jumpa pers atau sehabis berwawancara dengan nara sumber sebab amplop (berisi uang atau giro) merupakan embrio dari suap. Mengenai "fasiltas yang bisa memperngaruhin independesi", dia tak menutup mata, wartawan yang diundang mengikuiti rombongan kepala negara dari Jakarta menolak menerima fasiltas serbagratis mulai dari transportasi, hotel dan konsumsi, sebab di Amerika Serikat pun baru satu-dua media yang menolak wartawan mereka menerima layanan tiket cuma-cuma dari Gedung Putih.(*)