Jakarta (ANTARA) - Program sejuta rumah pada 2023 tinggal tersisa tiga bulan lagi. Artinya kerja keras pemangku kepentingan di bidang perumahan sangat dibutuhkan agar program ini dapat tercapai.

Pemerintah mengalokasikan investasi dalam APBN Tahun Anggaran 2023 untuk mendukung program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) kepada Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) sebesar Rp19,48 triliun dan penyertaan modal negara (PMN) kepada PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau PT SMF sebesar Rp1,53 triliun.

Sesuai data Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan, sampai pertengahan Agustus, program sejuta rumah sudah mencapai 634.132 unit.

Dari angka itu Kementerian PUPR menyumbang 250.860 unit, kementerian/lembaga lainnya 15.784 unit, pemerintah daerah 24.900 unit, pengembang non-FLPP 241.599 unit, CSR perumahan 954 unit, dan masyarakat 25.296 unit.

Kemudian rumah non-masyarakat berpendapatan rendah (MBR) sebanyak 74.739 unit, terdiri atas pembangunan rumah oleh pengembang sebanyak 33.131 unit dan masyarakat 41.608 unit.

Berdasarkan pencapaian ini, masih ada sekitar 300 ribu unit lagi agar program sejuta rumah dapat terpenuhi. Saat bersamaan, pada pengujung 2023 ini tantangannya juga ketat, yakni adanya libur akhir tahun, sehingga jarang masyarakat yang merealisasikan beli rumah karena fokus terhadap libur akhir tahun.

Tak hanya itu, banyak dari pekerja bangunan yang sudah mulai libur, sehingga beberapa proyek perumahan baru akan melanjutkan pembangunan pada tahun depan.

Meskipun demikian, baik pengembang maupun pemerintah optimistis program ini bisa tercapai seperti tahun-tahun sebelumnya.

Solusi untuk menghadapi fenomena akhir tahun, pengembang perumahan harus lebih agresif menghabiskan stok yang tersedia.

Optimalisasi pencapaian bisa dengan cara mendorong masyarakat yang sedang proses akad kredit dalam tiga bulan ini agar bisa merealisasikan dengan pihak bank pada tahun ini.

Memang bukan perkara mudah untuk memperoleh fasilitas KPR/KPA karena butuh syarat administrasi terhadap pemohon kredit yang membutuhkan waktu. Hal-hal seperti ini tentunya membutuhkan dukungan dari pihak pengembang agar proses kredit dapat dipercepat.
Kualitas bangunan rumah subsidi saat ini tidak kalah dengan rumah komersial. ANTARA/HO-Dokumen Pribadi

Optimis tercapai

Salah satu pengembang rumah program pemerintah mengakui penjualan menjelang tutup tahun memang membutuhkan usaha tidak ringan, meski saat itu bersamaan sejumlah karyawan mendapat bonus akhir tahun.

Pengembang harus mengerahkan tenaga pemasar agar sisa waktu tiga bulan ini bisa dioptimalkan.

Tak hanya itu, pengembang biasanya bekerja sama dengan perbankan yang menjadi mitranya untuk mempercepat persetujuan permohonan KPR/KPA dari calon pembeli.

Bertempat di salah satu proyek rumah subsidi dan nonsubsidi di Bekasi, pengembang menyelenggarakan akad KPR massal melibatkan 1.500 pembeli.

Pengembang tetap menjual rumah untuk membantu pemerintah merumahkan masyarakat dengan harga subsidi. Meski harganya dipatok oleh pemerintah, tapi kualitas perumahan subsidi rata-rata di atas standar yang ditentukan pemerintah.

Hanya saja, pengembang itu mengiakui bahwa untuk memasarkan rumah pada akhir tahun bukan perkara mudah. Banyak kebutuhan menjelang akhir tahun membuat pilihan membeli rumah menjadi alternatif terakhir pada akhir tahun.

Mayoritas pembeli rumah terjangkau (program pemerintah) merupakan segmen menengah biasanya pada akhir tahun biasanya sudah memiliki program untuk berlibur serta mengenyampingkan kebutuhan lainnya, termasuk soal beli rumah.

Studi Persatuan Perusahaan Realestat (REI) DKI Jakarta menunjukkan banyak pembeli rumah program pemerintah (FLPP) memang membutuhkan dan sudah merancang dalam waktu lama.

Dengan kisaran harga Rp200 hingga Rp500 juta, ditambah subsidi, tentunya profil pembeli rumah program pemerintah sudah bisa dipastikan, yakni membeli rumah untuk ditempati serta sudah menyiapkan sejak lama untuk membelinya.

Tidak hanya itu, rumah subsidi yang digulirkan pemerintah saat ini sudah jauh berbeda. Bahkan sudah setara rumah komersial (nonsubsidi), beberapa bahkan sudah berstandar rumah menengah ke atas.

Rumah subsidi sekarang ini jauh berbeda dengan rumah subsidi 10 tahun silam. Kalau dulu anggapan rumah subsidi itu identik dengan bahan bangunan berkualitas rendah, pengerjaan asal-asalan, bangunannya sempit, dan lain-lainnya.

Sejak pemerintah menerbitkan kebijakan standar kelaikan bangunan dan gedung lewat sertifikat laik fungsi bangunan gedung, membuat pengembang perumahan menghadirkan rumah dengan kualitas tak kalah dengan rumah real estate.

Rumah subsidi sekarang ini sudah dilengkapi dengan infrastruktur jalan dan air bersih yang mumpuni serta fasilitas-fasilitas layaknya hunian menengah, sehingga ini yang membuat masyarakat antusias untuk membeli rumah subsidi.


Perluas pasar

Seiring kualitas bangunan yang membaik, kini yang menjadi program lanjutan dari pemerintah adalah bagaimana memperluas pasar dari rumah subsidi agar semua golongan dapat menikmati.

BP Tapera (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat) sebagai ujung tombak penyediaan FLPP rumah subsidi sudah memperluas kepesertaan, dengan tujuan agar semua lapisan masyarakat bisa memiliki rumah.

Untuk upaya ini, tentunya BP Tapera tidak bisa bekerja sendirian sehingga mampu menjaring pasar rumah subsidi. Perlu dukungan pemangku kepentingan lainnya, meliputi kepala daerah dan pejabat BUMN/BUMD, termasuk sektor swasta.

Bahkan, menurut The Indonesia Economic Intelligence (IEI), sebaiknya BP Tapera mengoptimalkan fungsinya dalam pembiayaan di bidang perumahan, tidak membatasi segmentasi pada masyarakat dengan penghasilan Rp8 juta saja.
Salah satu syarat rumah subsidi adalah akses yang mudah bagi penghuni. ANTARA/HO-LRT

Hal ini karena banyak pekerja di Indonesia yang memiliki penghasilan di atas itu. Dengan demikian BP Tapera bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat serta bisa diperuntukkan bagi seluruh program perumahan nasional.

Dengan kapasitas BP Tapera yang lebih luas, otomatis imbal hasil yang diperoleh dari berbagai kegiatan investasi dan pemupukan dana juga menjadi lebih tinggi.

Sementara itu, pekerja memiliki banyak pilihan untuk menempatkan dananya pada instrumen investasi yang lebih menguntungkan. Dari hasil investasinya, pekerja pun memiliki peluang untuk memperoleh rumah dengan lebih cepat.

Dengan cara demikian, program sejuta rumah ke depannya sudah tinggal "lari" (running), karena seluruh regulasi dan perangkat pendukung, terutama pendanaan sudah siap.

Inti dari program rumah ini bisa berjalan adalah ketersediaan pendanaan, meliputi subsidi dan fasilitas perbankan. Mengingat rumah, meski termasuk kebutuhan pokok (papan), namun dari sisi harga sangatlah mahal, sehingga pendanaan menjadi keharusan.