Dokter RSCM sebut gigi goyang tak harus dicabut
30 Oktober 2023 16:59 WIB
Sejumlah dokter gigi spesialis dan tenaga kesehatan mengikuti pelatihan manajemen dini pada trauma maksilofasial dan bedah mulut di Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Soelastri Solo, Jawa Tengah, Sabtu (16/9/2023). ANTARAFOTO/Maulana Surya/Spt.
Jakarta (ANTARA) - Dokter gigi dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Ines Agustina Sumbayak mengatakan bahwa mengatasi gigi goyang tak harus selalu dengan cara dicabut.
“Tidak semua kasus gigi goyang harus dicabut, cabut gigi adalah solusi yang paling akhir,” katanya di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan gigi goyang masih bisa dipertahankan dan dirawat ketika kondisi goyang masih berada di derajat satu atau dua.
Ia menyebut tiga tingkat kegoyangan gigi, yakni ringan, sedang, dan parah, atau derajat satu sampai dengan tiga.
Ia menjelaskan pada derajat satu kegoyangan gigi umumnya karena ada lubang gigi yang membuat nanah di ujung akar gigi.
Kondisi tersebut, katanya, bisa diperbaiki dengan perawatan saraf atau perawatan saluran akar gigi agar jaringan terinfeksi pada gigi bisa dibersihkan terlebih dahulu.
“Jadi gigi tersebut bisa kembali baik, dirawat sampai tuntas sehingga kegoyangan giginya bisa berkurang. Tapi kalau kegoyangan gigi sudah mencapai sepertiga tengah akar gigi dan ada kerusakan itu sudah masuk derajat dua,” ucapnya.
Kegoyangan gigi dengan derajat dua, kata Ines, bisa diperbaiki dengan metode splinting atau mengikat gigi yang goyang dengan beberapa gigi yang terletak di samping kiri dan kanannya.
Ia menjelaskan splinting untuk merekatkan gigi yang lemah, di mana tindakan ini mengubah gigi menjadi satu kesatuan yang stabil dan lebih kuat.
“Umumnya, tindakan ini dilakukan akibat jaringan gusi yang rusak untuk mencegah gigi copot,” katanya.
Baca juga: Dokter gigi pastikan "scaling" bukanlah penyebab gigi goyang
Meski sama-sama menggunakan kawat dalam prosedurnya, katanya, splinting berbeda dengan behel gigi.
Splinting untuk menstabilkan gigi goyang, bersifat pasif, dan tidak ada tekanan untuk mendorong gigi tersebut untuk digerakkan ke posisi yang berbeda, sedangkan behel pada umumnya dipasang pada gigi-gigi yang terjadi malposisi atau gigi yang tidak benar posisinya, dengan sifat aktif behel akan mendorong gigi ke bagian yang benar.
“Jadi itu dua hal yang berbeda antara splinting dengan behel. Splinting itu hanya mengikat biar tidak semakin goyang tanpa menggerakkan, sementara behel merapikan, ada tarikan dan dorongan,” ujarnya.
Ia menjelaskan splinting gigi bisa dilakukan secara temporer di bawah enam bulan, semi permanen selama enam bulan, dan permanen di atas enam bulan atau tahunan, tergantung kondisi kerusakan gigi.
Ketika gigi goyang masih bisa diperbaiki, ia menyebut bahwa splinting menjadi solusi yang lebih baik dibandingkan dengan cabut gigi.
Ia menjelaskan cabut gigi berpotensi menimbulkan efek samping atau komplikasi, antara lain pembengkakan gusi, pendarahan, kerusakan saraf gigi, dan infeksi area gigi yang dicabut.
“Jadi cabut gigi adalah solusi terakhir ketika gigi memang sudah rusak parah dan tidak bisa diperbaiki lagi,” katanya.
Baca juga: Dokter gigi bagikan cara rawat mulut dan gigi yang benar
Baca juga: Dokter gigi anjurkan periksa kesehatan gigi dan mulut rutin sejak dini
“Tidak semua kasus gigi goyang harus dicabut, cabut gigi adalah solusi yang paling akhir,” katanya di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan gigi goyang masih bisa dipertahankan dan dirawat ketika kondisi goyang masih berada di derajat satu atau dua.
Ia menyebut tiga tingkat kegoyangan gigi, yakni ringan, sedang, dan parah, atau derajat satu sampai dengan tiga.
Ia menjelaskan pada derajat satu kegoyangan gigi umumnya karena ada lubang gigi yang membuat nanah di ujung akar gigi.
Kondisi tersebut, katanya, bisa diperbaiki dengan perawatan saraf atau perawatan saluran akar gigi agar jaringan terinfeksi pada gigi bisa dibersihkan terlebih dahulu.
“Jadi gigi tersebut bisa kembali baik, dirawat sampai tuntas sehingga kegoyangan giginya bisa berkurang. Tapi kalau kegoyangan gigi sudah mencapai sepertiga tengah akar gigi dan ada kerusakan itu sudah masuk derajat dua,” ucapnya.
Kegoyangan gigi dengan derajat dua, kata Ines, bisa diperbaiki dengan metode splinting atau mengikat gigi yang goyang dengan beberapa gigi yang terletak di samping kiri dan kanannya.
Ia menjelaskan splinting untuk merekatkan gigi yang lemah, di mana tindakan ini mengubah gigi menjadi satu kesatuan yang stabil dan lebih kuat.
“Umumnya, tindakan ini dilakukan akibat jaringan gusi yang rusak untuk mencegah gigi copot,” katanya.
Baca juga: Dokter gigi pastikan "scaling" bukanlah penyebab gigi goyang
Meski sama-sama menggunakan kawat dalam prosedurnya, katanya, splinting berbeda dengan behel gigi.
Splinting untuk menstabilkan gigi goyang, bersifat pasif, dan tidak ada tekanan untuk mendorong gigi tersebut untuk digerakkan ke posisi yang berbeda, sedangkan behel pada umumnya dipasang pada gigi-gigi yang terjadi malposisi atau gigi yang tidak benar posisinya, dengan sifat aktif behel akan mendorong gigi ke bagian yang benar.
“Jadi itu dua hal yang berbeda antara splinting dengan behel. Splinting itu hanya mengikat biar tidak semakin goyang tanpa menggerakkan, sementara behel merapikan, ada tarikan dan dorongan,” ujarnya.
Ia menjelaskan splinting gigi bisa dilakukan secara temporer di bawah enam bulan, semi permanen selama enam bulan, dan permanen di atas enam bulan atau tahunan, tergantung kondisi kerusakan gigi.
Ketika gigi goyang masih bisa diperbaiki, ia menyebut bahwa splinting menjadi solusi yang lebih baik dibandingkan dengan cabut gigi.
Ia menjelaskan cabut gigi berpotensi menimbulkan efek samping atau komplikasi, antara lain pembengkakan gusi, pendarahan, kerusakan saraf gigi, dan infeksi area gigi yang dicabut.
“Jadi cabut gigi adalah solusi terakhir ketika gigi memang sudah rusak parah dan tidak bisa diperbaiki lagi,” katanya.
Baca juga: Dokter gigi bagikan cara rawat mulut dan gigi yang benar
Baca juga: Dokter gigi anjurkan periksa kesehatan gigi dan mulut rutin sejak dini
Pewarta: Cahya Sari
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023
Tags: