Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan limbah terak feronikel masih menyimpan berbagai logam berharga yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.

Periset Metalurgi Ekstraksi BRIN, Eni Febriana dalam acara Kolokium Metalurgi di Jakarta, Jumat, mengatakan pemerintah telah mengeluarkan terak feronikel dari daftar limbah B3, sehingga memberi peluang untuk pemanfaatan dalam skala yang lebih besar.

"Terak feronikel masih berpotensi untuk dimanfaatkan kembali agar menghasilkan bahan yang lebih bernilai dengan diambil unsur berharganya dan dimanfaatkan sebagai bahan material lain," ujarnya.

"Beberapa produk pemanfaatan terak feronikel adalah concrete materials, semen, mineral fiber, keramik kaca, bahan tahan panas, atau bisa juga diambil mineral-mineral berharganya," imbuh Eni.

Eni menjelaskan bahwa produksi pengolahan nikel yang tinggi telah menghasilkan sangat banyak terak feronikel. Namun, pemanfaatan terak feronikel itu masih sebatas untuk urukan jalan, urukan bekas tambang, atau hanya ditampung pada area penampungan saja.

Kondisi itu menjadi masalah karena bisa mencemari lingkungan. Implementasi program keberlanjutan lingkungan yang kini banyak diterapkan oleh perusahaan menjadi tantangan dalam mengolah dan menjaga lingkungan tetap lestari.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang pengelolaan limbah B3, slag feronikel itu termasuk ke dalam klasifikasi limbah B3 kategori jenis logam berat dan cukup beracun.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 02 Tahun 2014, terak feronikel dikategorikan sebagai limbah yang dapat dimanfaatkan kembali.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menyatakan saat ini limbah terak feronikel sudah dikategorikan sebagai limbah non B3.

Tantangan pemanfaatan terak feronikel adalah valuable metal content sangat rendah, main metal seperti silikon dan magnesium yang cenderung dipandang memiliki nilai cukup rendah, kemudian kandungan magnesium yang tinggi dan kalsium yang rendah menyebabkan stabilitas rendah dan aktivitas rendah. Hal itu membatasi untuk aplikasi material bangunan.

Adapun secara struktur grinding cost tinggi menyebabkan konsumsi energi untuk pengolahan juga cukup tinggi.

Eni menjelaskan bahwa terak feronikel harus diolah kembali dalam usaha untuk penerapan eco-enviromental atau sustainable environment, kemudian juga bisa dihubungkan dengan berkurangnya sumber daya dan energi.

"Isu penyelamatan lingkungan mengharuskan semua pihak untuk mencari sumber energi alternatif baru, meminimalisasi limbah, dan bagaimana kita bisa mengelola limbah itu menjadi bahan berharga," pungkasnya.


Baca juga: Antam catatkan volume produksi 10.537 ton feronikel di semester I-2023
Baca juga: BRIN kaji kebijakan pajak karbon untuk turunkan emisi gas rumah kaca