Surabaya (ANTARA) - Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya Prof Dr Prastiya Indra Gunawan, dr SpA(K) menciptakan terobosan baru penanganan epilepsi yang selama ini menggunakan pemeriksaan elektroensefalografi (EGG) dan kerap menemui kesalahan karena keterbatasan sumber daya.

"Akibatnya, hasil EEG sering salah arti sehingga menyebabkan pendiagnosaan yang berlebihan tentang epilepsi dan obat antiepilepsi berkepanjangan yang sebenarnya tidak perlu," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair itu dalam keterangan diterima di Surabaya, Jumat.

Pada umumnya, tata laksana penanganan kejang adalah dengan memberikan diazepam melalui rektal atau dubur. Hanya saja, Prof Prastiya melihat ada satu kendala yang selalu menghambat penggunaannya termasuk ketidakefisienan waktunya.

Oleh karenanya, Prof Prastiya melakukan penelitian dan menciptakan satu terobosan dengan menggunakan midazolam secara intramuscular (otot) dan intranasal (hidung).

Hasilnya, metode tersebut bukan hanya menjawab permasalahan sebelumnya, tetapi juga menangani kejang anak lebih optimal.

"Midazolam intramuscular mampu menghentikan kejang dalam tempo 45 detik, sedangkan midazolam intranasal mampu menghentikan kejang dalam tempo 42 detik. Berbeda dengan diazepam rektal yang mencapai 180 detik," kata Prof Prastiya.

Prof Prastiya telah mendapatkan pengakuan sebagai pelopor perubahan tata cara penanganan kejang anak melalui Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Ia secara resmi mendapatkan HKI tersebut pada tahun 2019 dan 2021 setelah penelitian dan publikasi yang ia lakukan pada tahun 2015 dan 2016.

"Dari perubahan teknik itu, kita sudah masukkan ke HKI dan kita dapat HKI-nya tahun 2021 dan 2019 dengan pengajuannya di Indonesia lewat Kementerian Hak Asasi Manusia dan Hukum," tuturnya.

Selain penemuannya itu, Prof Prastiya juga tidak lantas berhenti untuk melakukan pengembangan lain terkait bidang keahliannya. Sebagai tindak lanjut, ia juga telah meneliti pasien-pasien yang menunjukkan gejala resisten obat dan menemukan penyebab lainnya.

"Contohnya untuk diagnostik. Kalau dulu penyebabnya ada infeksi, ada penyebabnya trauma kepala, tapi sekarang kita juga kembangkan ke arah autoimun. Ternyata memang ada pasien-pasien kita yang mengalami epilepsi yang resisten sama obat terus kita cari dan penyebabnya adalah autoimun," ujarnya.
Midazolam yang digunakan Prof. Dr. Prastiya Indra Gunawan, dr., SpA(K)., untuk penanganan epilepsi. (ANTARA/HO-Humas Unair)

Pembangunan Pusat Epilepsi

Kendati telah menemukan penyebabnya, kejang yang resisten pada obat obat adekuat masih sulit untuk dapat tertangani. Pada kasus ini, pengobatan yang dapat menjadi alternatif penanganan menurut Prof Prastiya adalah bedah epilepsi.

Sayangnya, tidak semua fasilitas kesehatan mampu untuk melakukan tindakan bedah epilepsi. Dengan kemajuan teknologi saat ini, dia berpikir perlunya pembangunan pusat pelayanan epilepsi yang komprehensif.

Gagasan itu juga telah ia sampaikan dalam Konferensi N-20 saat pertemuan KTT G-20 di Bali tahun 2022 lalu.

"Kunci untuk memulai epilepsi center ini adalah assemble the right team with the right people yang mempunyai pendekatan yang sama untuk menangani epilepsi," tambahnya.

Pusat epilepsi tersebut nantinya bukan hanya menjadi tempat penanganan, melainkan juga tonggak perbaikan stigma di masyarakat. Banyak penderita epilepsi yang merasa terkucilkan oleh lingkungan, terhambat dalam kariernya, dan bahkan merasa gagal dalam kehidupan rumah tangganya.

Dengan terbangunnya pusat epilepsi tersebut, Prof Prastiya berharap penyandang epilepsi bukan hanya mendapatkan penanganan kesehatan, tetapi juga kehidupan sosialnya. Ia juga mengajak semua orang untuk bersama-sama turut peduli pada penderita epilepsi.

Baca juga: Unair kukuhkan enam guru besar tingkatkan kualitas pendidikan

Baca juga: Rektor Unair tekankan kerja sama riset internasional ke guru besar

Baca juga: Doktor ITS gagas algoritma deteksi lokasi epilepsi di otak

Baca juga: Guru Besar FKUI: Perlu paradigma baru tangani kasus epilepsi anak