Surabaya (ANTARA) - Ada pesan penting untuk para wartawan/jurnalis di republik ini terkait maraknya berita hoaks, terutama di tahun politik menuju Tahun 2024 atau bersamaan dengan pelaksanaan Pemeilihan Umum atau Pemilu 2024, .

Sepanjang tahun 2022 hingga September 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo RI mencatat ada 1.944 isu hoaks yang bertebaran di dunia digital. Pada saat yang sama, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat bahwa hoaks sepanjang 2022 sebanyak 1.698 isu di media sosial, yakni FaceBook 36,9 persen, Twitter 24,5 persen, WA 13,6 persen, TikTok 9 persen, dan akun medsos lain sebanyak 16 persen.

Pesan penting dari data mengenai hal itu bukan hanya sebatas imbauan bagi para insan pers untuk tidak terlibat dalam upaya penyebaran berita hoaks, dengan kembali kepada pedoman moral, yakni Kode Etik Jurnalistik, sebagai kunci mengantisipasi informasi hoaks, namun ada pesan utama untuk para jurnalis tentang pentingnya mereka menghitung betul mengenai dampak dari tersebarnya informasi hoaks itu di tengah masyarakat.

Ya, dampak dari informasi hoaks yang memapar publik itu agaknya sering lepas dari upaya kalkulasi yang harus dilakukan oleh para jurnalis, karena dunia digital lebih mementingkan viral atau viewer yang tinggi secara kuantitas, yang lebih dikenal sebagai clickbait.

Padahal, dampak dari berita hoaks sebagai salah satu jebakan digital itu sangat fatal, karena hal itu justru menghasilkan tiga pola kerusakan, yakni merusak demokrasi, merusak karakter, dan dapat merusak publik.

Informasi yang tidak akurat bisa merusak demokrasi, karena hoaks bisa menjadikan demokrasi tidak berkualitas dengan adanya rekayasa digital melalui berbagai isu yang direkayasa sedemikian rupa, sehingga pemenang dalam proses demokrasi bukanlah tokoh berkualitas melalui terpaan isu-isu hoaks yang dilemparkan bertubi-tubi oleh pihak lawan.

Hoaks juga bisa merusak karakter, karena profesi jurnalis/wartawan yang di dalamnya dirinya sudah melekat nilai kepercayaan, objektivitas, dan menjaga kualitas, akhirnya muruah itu bisa rusak akibat karakter yang menghalalkan segala cara, baik dengan hoaks, framing, hack, scam, spam, hingga cara-cara digital lainnya yang negatif.

Hoaks pun bisa merusak publik, karena dampak informasi hoaks bagi publik yang juga fatal, mulai dari menimbulkan kegaduhan hingga konflik yang berkepanjangan atau tidak berkesudahan. Artinya, jurnalis/wartawan hendaknya melihat berita hoaks itu tidak semata-mata berdampak viral, namun pemberitaan tersebut justru merugikan publik, karena konflik di masyarakat justru tidak bisa tuntas, bahkan masyarakat bisa "terbelah" selama bertahun-tahun. Tentu, situasi ini merusak persatuan dan kesatuan bangsa yang mestinya insan pers harus mengambil peran utama untuk menjaganya bersama-sama dengan elemen masyarakat lain.

Tidak hanya itu, hoaks yang kemudian viral dalam sehari saja itu juga bisa membuat kepercayaan dunia usaha di dalam negeri menjadi menurun dan perekonomian merosot dalam waktu berbulan-bulan. Semuanya itu menunjukkan bahwa informasi bohong tersebut bisa memiliki dampak yang fatal bagi kehidupan berbangsa.


"Memanfaatkan" hoaks

Selain mengalkulasi dampak fatal hoaks dengan menghindari "copas" (copy paste atau salin-saji) dari media sosial, pesan penting lainnya bagi insan pers adalah "memanfaatkan" hoaks itu untuk informasi yang edukatif.

Ikhtiar "memanfaatkan" hoaks itu telah dilakukan beberapa media. ANTARA sendiri telah mengimplementasikan "Jaringan Antara Cegah Hoax" atau JACX sejak tahun 2018. Dengan sistem JACX dan rubrik/konten antihoaks, maka jurnalis akan mencegah dampak fatal dari informasi hoaks untuk terus berlanjut.

Bagi LKBN ANTARA, ikhtiar menampilkan JACX itu sejalan dengan hasil Konferensi dan Pertemuan Ke-51 Dewan Eksekutif Organisasi Kantor Berita se-Asia Pasifik (OANA) yang mengangkat isu pemberantasan disinformasi. Kesediaan media arus utama untuk menyediakan rubrik pelacak hoaks itu akan membantu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mendidik masyarakat untuk selalu mengecek informasi, apakah itu benar atau hoaks, lewat kanal atau laman yang disediakan oleh Kominfo.

Pesan penting lain yang juga perlu terus diingatkan adalah pesan lama untuk kembali kepada prinsip jurnalisme, yakni UU 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Untuk UU Pers adalah berpegang pada akurasi informasi (verifikasi dan keberimbangan berita), dan bila ada masalah pers dengan publik, maka pers menyediakan mekanisme untuk ralat, koreksi, hak jawab. Prinsip ini juga merujuk pada pentingnya tiga akurasi, yakni sanad/narasumber, matan/konten kepentingan publik, dan rawi/sumber data kredibel.

Untuk Kode Etik Jurnalistik mengingatkan jurnalis untuk tidak memuat berita/informasi bohong, fitnah, sadis, dan cabul, namun bila ada masalah etika, maka perlu langkah mediasi yang melibatkan Dewan Pers (bukan pidana penjara, tapi solusi UU Pers atau pidana denda Rp500 juta).

Tiga pesan penting (kalkulasi dampak, kanal antihoaks, UU Pers-Kode Etik) itu akan mendorong wartawan/jurnalis yang saleh di era digital, terutama di Tahun Politik. Apalagi, pendakwah milenial, Habib Ja’far al Hadar, menyebut hoaks juga berdampak agama, yang disebutnya dengan istilah "muflis" (bangkrut).

Hoaks yang terus ada dalam jejak digital dapat menyebabkan kita menjadi muflis atau bangkrut secara agama, karena pahala ibadah kita bisa berkurang dan digerogoti hoaks.

Selain mengedukasi pembaca, pesan penting lainnya adalah eduksi diri, yakni wartawan harus terus menerus mengedukasi diri untuk menyuguhkan berita akurat dan mencerahkan.