Mendung terus menyelimuti puncak Gunung Mutis, hawa dingin mulai terasa ketika sebuah kendaraan jenis strada yang ditumpangi lima orang wartawan "merayap" perlahan menelusuri punggung gunung itu menuju Aplal di wilayah perbatasan Oecusse, Timor Leste.
Aplal yang terletak di Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur itu berada di daerah lembah yang letaknya tak jauh dari wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oecusse.
Perjalanan menuju Aplal bukanlah perkara yang mudah, karena medan jalannya sangat ganas, licin, berlumpur dan naik turun bukit yang tidak gampang dilewati kendaraan roda empat, kecuali kendaraan dobel gardan seperti strada yang ditumpangi lima orang wartawan tersebut.
Perjalanan lima orang wartawan ke Aplal di Desa Tasinifu itu untuk meliput kegiatan penutupan Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-90 Tahun 2013 atas undangan dari Komandan Kodim 1618/Timor Tengah Utara Letkol Arm Eusebio H Rebelo.
"Kegiatan ini cukup menarik, karena warga dari negeri seberang Timor Leste, khususnya dari wilayah kantung (enclave) Oecusse ikut hadir," komentar Frans Sarong, wartawan Kompas kepada Antara, SCTV, Metro TV dan AnTV dalam perjalanan tersebut.
Perjalanan dari Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara hingga Eban sejuah sekitar 30-an kilometer masih terasa nikmat, karena ruas jalan tersebut sudah di hotmix (campuran aspal panas), meski sebagian besarnya sudah berlubang-lubang.
Eban merupakan salah satu lumbung pangan bagi Timor Tengah Utara. Wilayah yang terletak di kaki Gunung Mutis itu sangat subur, sehingga mudah ditanami berbagai aneka tanaman perdagangan seperti bawang, kacang-kacangan, jagung, sayur-sayuran serta beraneka tanaman lainnya.
Selepas dari Eban, kendaraan yang ditumpangi harus mengurangi kecepatan dan harus "merayap" menelusuri jalan di punggung Gunung Mutis yang berlubang-lubang, licin dan berlumpur karena sedang diguyur hujan.
"Wajah tepian Nusantara yang dilukiskan sebagai serambi depan negara, ternyata masih bopeng," ujar Frans Sarong kepada rekan-rekan wartawannya yang tengah menelusuri perjalanan yang melelahkan itu.
Tidak hanya wajah jalan negara yang masih "bopeng", tetapi pemukiman penduduk pun masih tampak memprihatinkan. Mereka hanya membangun rumah seadanya dari ilalang untuk atapnya dan pelepah gewang sebagai dindingnya.
Rumah penduduk yang terletak di tepian nusantara, seperti di Desa Tasinifu, misalnya, jaraknya berjauhan antara satu dengan yang lainnya, sehingga harus diberi pagar kayu untuk menghindar dari serangan binatang besar seperti sapi dan kerbau.
Suasana di perbatasan terasa makin mencekam jika malam telah tiba. Tak ada penerangan listrik yang nampak di tepian nusantara. Warga tepian harus kembali ke gubuknya masing-masing, karena tidak ada penerangan yang membantu mereka untuk saling mengunjungi satu sama lain.
"Komitmen pemerintah Indonesia untuk membangun wilayah perbatasan hanya slogan belaka. Serambi depan negara hanya diucapkan sebagai pemanis bibir, karena tidak ada fasilitas umum yang dibangun untuk mempercantik wajah rumah kita yang berbatasan dengan Oecusse itu," komentar Wilhelmus Wetan Songa, dosen hukum internasional dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang.
Menurut dia, fasilitas utama yang perlu segera dibangun adalah listrik dan jalan untuk membantu masyarakat meningkatkan usaha ekonominya serta membuka isolasi wilayah yang masih jauh dari keramaian.
Fredy Olin, salah seorang tokoh masyarakat Desa Tasinifu mengungkapkan sejak dia lahir sampai saat ini, dirinya tidak pernah menikmati listrik dan jalanan yang mulus seperti di wilayah perkotaan.
"Kami berharap pemerintah dapat membangun fasilitas jalan dengan lebih baik lagi agar memudahkan kami bisa memasarkan hasil-hasil pertanian ke wilayah perkotaan," ujar pria brewokan itu.
Menurut Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Timor Tengah Utara Frans Ratrigis, ruas jalan dari Eban sampai Desa Noelelo yang berbatasan dengan Desa Oepoli di wilayah Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, sudah ditingkatkan statusnya menjadi jalan negara, karena berbatasan langsung dengan Oecusse, Timor Leste.
"Mulai tahun anggaran ini, ruas jalan dari Kefamenanu-Eban-Tasinifu-Naekake A dan B sampai Noelelo sudah mulai dikerjakan dengan dana dari APBN, karena mendapat peningkatan status menjadi jalan negara yang sebelumnya adalah jalan kabupaten," ujarnya.
Rencana pembangunan jalan pada ruas jalan tersebut membuat Romo Beatus Ninu, seorang rohaniawan Katolik yang juga Pastor Paroki Mater Dei Oepoli, agak sedikit lega karena jalur tersebut menjadi lintasan utama menuju tempat pengabdiannya sebagai gembala umat di Oepoli.
"Membangun jalan sudah menjadi kerinduan semua warga yang berada di tepian nusantara, khususnya di wilayah Aplal sampai Oepoli yang berbatasan langsung dengan Oecusse, Timor Leste. Masyarakat petani sulit mengakses hasil pertaniannya ke wilayah kota karena tidak ada angkutan umum yang beroperasi," ujarnya.
Romo Bento--demikian panggilan khas Romo Beatus Ninu--berpendapat pembangunan fasilitas jalan harus menjadi prioritas utama pemerintah, sedang untuk fasilitas jembatan agar bisa melintasi sungai yang lebar-lebar di wilayah perbatasan, untuk sementara dinomorduakan.
"Saya sudah biasa melintas di sungai yang lebar-lebar dengan Toyota Catana. Jika musim hujan dan banjir besar, saya terpaksa tidur di tepian sungai sambil menunggu surutnya banjir baru melanjutkan perjalanan ke Oepoli," ujar Romo Bento yang sudah lima tahun mengabdi di Oepoli sebagai Partor Paroki Mater Dei.
Untuk mencapai Oepoli dari arah Kefamenanu, harus melalui medan jalan yang berat dan hanya melintasi dua sungai yang lebar di Aplal dan Noelelo, sedang dari Kupang harus melalui 188 sungai dengan medan jalan yang jauh lebih buruk dari ruas jalan Kefamenanu-Oepoli.
Menurut dia, jalanan umum di Oepoli sudah di aspal semuanya dan sebagiannya masih dalam pengerasan sampai ke Noelelo di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara.
"Jika wajah tepian nusantara yang masih bopeng ini mendapat perhatian serius dari pemerintah, saya optimistis masyarakat yang berada di tepian nusantara, khususnya yang berbatasan langsung dengan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oecusse akan menikmati kehidupan yang lebih baik," demikian Romo Beatus Ninu.
(L003/Z003)
Wajah "bopeng" tepian Nusantara
9 Juni 2013 16:49 WIB
Sejumlah warga berdiri di pinggir jalan di Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Selasa (4/6). Warga Indonesia ini berada di wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oecusse. (ANTARA FOTO/Laurensius Molan/ed/mes/13)
Oleh Laurensius Molan
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013
Tags: