Rupiah menguat di tengah penurunan besar imbal hasil obligasi AS
24 Oktober 2023 15:42 WIB
Teller memegang mata uang Dolar AS dan Rupiah di sebuah tempat penukaran uang, Jakarta, Rabu (6/7/2022). (ANTARA FOTO/Subur Atmamihardja/wsj/foc.)
Jakarta (ANTARA) - Analis pasar mata uang Lukman Leong menyatakan rupiah dan mata uang Asia pada umumnya menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah penurunan besar imbal hasil (yield) obligasi AS.
Yield obligasi tenor 10 tahun bergerak di sekitar 4,86 persen pagi ini dari sekitar 4,99 persen.
"Investor mengantisipasi data yang lebih lemah dari PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur AS malam ini. PMI manufaktur AS diperkirakan masih akan terkontraksi turun ke 49,5 dari 49,8 bulan lalu," kata Lukman dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa.
Pada Kamis (26/10), investor tertuju pada data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal III/20230 yang diperkirakan akan tumbuh kuat 4,3 persen serta pidato yang disampaikan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell.
Memasuki Jumat (27/10), data inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index AS diprediksi meningkat 0,3 persen month to month (MoM) dan 3,7 persen year on year (YoY).
Baca juga: Jokowi sebut depresiasi rupiah tak ganggu sektor riil dan keuangan
Baca juga: Pengamat: Rupiah berpeluang melemah karena pasar masih pantau Timteng
Menurut pengamat pasar uang Ariston Tjendra, serangan darat Israel yang ditunda ke Gaza, Palestina, menurunkan kekhawatiran pasar, sehingga rupiah mengalami penguatan.
"Namun demikian, sentimen kelihatan masih negatif untuk aset berisiko pagi ini. Pasar masih memperhatikan perkembangan di Timur Tengah. Sebagian indeks saham Asia masih bergerak negatif seperti Nikkei, Hangseng, Kospi," ungkap Ariston.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah menguat sebesar 85 poin atau 0,53 persen menjadi Rp15.848 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp15.934 per dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa turut menguat ke posisi Rp15.869 dari sebelumnya Rp15.943 per dolar AS.
Baca juga: Rupiah Selasa pagi dibuka menguat jadi Rp15.878 per dolar AS
Baca juga: Menkeu: Pelemahan rupiah belum signifikan berdampak ke subsidi energi
Yield obligasi tenor 10 tahun bergerak di sekitar 4,86 persen pagi ini dari sekitar 4,99 persen.
"Investor mengantisipasi data yang lebih lemah dari PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur AS malam ini. PMI manufaktur AS diperkirakan masih akan terkontraksi turun ke 49,5 dari 49,8 bulan lalu," kata Lukman dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa.
Pada Kamis (26/10), investor tertuju pada data Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal III/20230 yang diperkirakan akan tumbuh kuat 4,3 persen serta pidato yang disampaikan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell.
Memasuki Jumat (27/10), data inflasi Personal Consumption Expenditures (PCE) Price Index AS diprediksi meningkat 0,3 persen month to month (MoM) dan 3,7 persen year on year (YoY).
Baca juga: Jokowi sebut depresiasi rupiah tak ganggu sektor riil dan keuangan
Baca juga: Pengamat: Rupiah berpeluang melemah karena pasar masih pantau Timteng
Menurut pengamat pasar uang Ariston Tjendra, serangan darat Israel yang ditunda ke Gaza, Palestina, menurunkan kekhawatiran pasar, sehingga rupiah mengalami penguatan.
"Namun demikian, sentimen kelihatan masih negatif untuk aset berisiko pagi ini. Pasar masih memperhatikan perkembangan di Timur Tengah. Sebagian indeks saham Asia masih bergerak negatif seperti Nikkei, Hangseng, Kospi," ungkap Ariston.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah menguat sebesar 85 poin atau 0,53 persen menjadi Rp15.848 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp15.934 per dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa turut menguat ke posisi Rp15.869 dari sebelumnya Rp15.943 per dolar AS.
Baca juga: Rupiah Selasa pagi dibuka menguat jadi Rp15.878 per dolar AS
Baca juga: Menkeu: Pelemahan rupiah belum signifikan berdampak ke subsidi energi
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2023
Tags: