Jakarta (ANTARA News) - Di depan lobi hotel, empat kendaraan
tanpa kaca jendela samping dan belakang terpakir berurutan, menunggu
rombongan yang baru saja selesai sarapan.
Kesan kuno sekaligus petualang berpadu dari kerangka baja
berkarat, lampu-lampu kusam, tampilan muka berbekas lumpur, roda berdiameter
besar, serta sebuah ban cadangan di atas kap mobil.
"Ayo, naik ke mobil. Cukup kok buat delapan
orang," tutur seorang pemandu rombongan kepada kami.
Satu-per-satu jurnalis asal Jakarta duduk berhadapan di
bangku belakang yang berdesain menyerupai angkutan pedesaan atau bemo itu, sedangkan satu orang rombongan duduk di jok depan samping sang pengemudi.
Empat mobil itu lalu bergegas meninggalkan hotel selepas
mobil keempat penuh diisi delapan orang dan juga seorang anggota rombongan di
kabin depan.
Sekitar pukul 08.30, mobil segala medan (off-road) yang kami naiki terlihat
kontras di atas aspal mulus dan melewati kepadatan lalu lintas kendaraan Kota
Kembang.
Semilir angin bercampur asap solar yang menyusup di kabin
belakang mobil kian hilang, berganti udara segar nan sejuk Gunung Tangkuban
Parahu, Lembang, dengan alas kebun sayur dan buah.
Deretan Land Rover berangka panjang (long chassis) ini mulai masuk kawasan
Wanawisata Cikole, Jaya Giri, di sebelah kiri jalan utama menuju Subang, Jawa
Barat, saat matahari tersipu malu di balik kabut putih.
Sejam lebih lima belas menit dari kota Bandung, rombongan
menginjakkan kaki dan beristirahat sejenak di tanah andosol yang dikelilingi
hutan pinus sebelum empat mobil menapak medan non-aspal.
"Nanti kalau mobilnya goyang kanan atau kiri, ikuti aja
ya Pak. Badannya jangan ditahan," kata anggota Land Rover Club Bandung
(LRCB) sekaligus pengemudi mobil warna hijau muda tahun 1980 itu.
Selain imbauan untuk tidak menahan badan, kami juga diminta
berhati-hati dengan potongan-potongan ranting pohon yang ada di kana kiri
jalan off-road.
Kami beruntung. Cuaca cerah Tangkuban Parahu
berarti kami tidak harus memulai perjalanan dengan tanah lumpur, tapi jalan
berbatu andesit sebagai pemanasan.
"Awas Pak! Ranting," seru pengemudi ketika
sebatang ranting kering tampak di depan kaca kemudinya yang diikuti gerakan
bungkuk para anggota rombongan off-road di
kursi kanan mobil.
Empat mobil dengan panjang hampir tiga meter itu terus
menderu dan menembus jalur batu berkelok-kelok dengan kecepatan rata-rata 20-40
km/jam.
Semak belukar dan ranting di kanan kiri mobil yang beberapa
kali mencolek punggung penumpang, menyemburkan pula aroma sepet dedaunan dalam
balutan sinar matahari yang menembus atap pinus.
Di balik tanjakan berbatu sehabis jalan berlumpur terdapat
area pemberhentian sementara. Rombongan beristirahat sekitar sepuluh menit untuk
sekadar menghirup udara area Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH), Bandung
Utara.
Wakil Ketua Land Rover Club Bandung, Ndang Wardi, mengatakan
di kawasan Perhutani KPH Bandung Utara di desa Cikole itu ada 10 jalur off-road.
"Paling ekstrem itu, jalur gunung putri bangker. Di
situ ada bekas gudang senjata Jepang," kata Wardi, menunjuk jalur
tanah dengan bekas alur ban.
Pria yang sering disapa "Edwar" oleh rekan-rekan
satu klubnya itu mengatakan ban mobil-mobil off-road
seringkali selip dan meloncat ketika melewati jalur berlumpur saat hujan
turun.
"Kalau ini (perjalanan rombongan), bukan termasuk off-road dan masih disebut wisata hutan
karena mobil itu tidak punya winch,"
kata Edwar.
Sambil sesekali mengepulkan asap rokok, Edwar menuturkan
alternatif petualangan off-road dapat
pula menggunakan Hardtop berban besar dan menghabiskan dua hari dua
malam untuk jalur sepanjang 15 km.
"Sebenarnya, jalur yang dilewati itu tidak layak untuk mobil Land Rover ini, tapi kami memang sengaja mencari
sensasi off-road," katanya
seraya mengajak rombongan kembali ke mobil.
Di muka Land Rover tahun 1979 abu-abu, Edwar menjelaskan
harga sewa mobil off-road untuk
wisata hutan di Cikole adalah Rp800 ribu untuk satu mobil dengan minimal
penyewaan dua mobil.
Satu per satu anggota rombongan kembali naik kabin belakang
mobil yang tertutup bahan kanvas. Sejenak memampatkan posisi duduk, sang
pengemudi pun menginjak pedal gas dan kopling.
Kami dihadapkan pada jalan tanah becek yang menyerupai area
sawah sehabis terbajak traktor besar. Tanah becek itu berada sekitar 500 meter
dari lokasi istirahat.
Disusul jalur tanah curam berlubang bekas tapak ban off-road selebar sekitar enam meter,
setiap jurnalis langsung berpegangan pada tali yang tergantung di rangka mobil.
Seraya menunggu pengemudi untuk mengambil ancang-ancang,
sebagian anggota rombongan justru minta turun dari mobil. "Saya mau ambil foto
mobil ini dari depan," tutur seorang jurnalis.
Sebagian rombongan asyik mengambil gambar-gambar mobil off-road yang memacu roda di atas tanah
berlumpur. Sebagian lagi yang berada di mobil berteriak kegirangan begitu
mobil yang mereka tumpangi mampu melewati rintangan off-road itu.
Mobil paling depan mendadak mogok selepas menanjak jalan
andosol berlumpur di sisa-sisa jalur itu. Berkali-kali sang pengemudi menekan
pedal gas, tapi Land Rover warna biru tua itu seakan tetap bergeming.
Desing mesin mobil mogok bersautan dengan decit
burung-burung di sekitar lokasi dan ramai ocehan penumpang yang saling bercanda
melepas khawatir.
Tiga menit berlalu, urut-urutan mobil wisata off-road ini kembali melewati jalur
tanah berbatu. "Sudah hampir selesai Pak, di depan sudah jalan
aspal," kata sang pengemudi mobil kami.
Hamparan hijau muda kebun teh berlatar langit biru tertutup
kabut awan putih seolah menyambut rasa lega kami karena mampu mengikuti
perjalanan off-road yang menghabiskan
hampir dua jam.
Pukul 12.45, mobil menginjak aspal jalan raya Lembang,
pertanda perjalanan off-road wisata
hari itu telah berakhir.
Tapak roda-roda "off-road" Cikole
Oleh Imam Santoso
8 Juni 2013 11:20 WIB
Mobil Land Rover melewati jalur "off-road" di kawasan Perhutani KPH Bandung Utara, Desa Cikole Lembang Jawa Barat. (ANTARA News / Imam Santoso)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013
Tags: