Jakarta (ANTARA) - Dalam forum United Nations Group of Expert on Geographical Names (UNGEGN), Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis dengan memiliki lebih dari 16.000 pulau dan dihuni lebih dari 1.000 suku bangsa (Cabinet Secretariat of The Republic of Indonesia, 2017).

Letak Indonesia berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta diapit dengan lempeng tektonik yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.

Aktivitas tektonik ini menghasilkan serangkaian gunung berapi yang dikenal sebagai busur vulkanik (volcanic arc), dan rangkaian gunung berapi ini disebut Ring of Fire. Di Indonesia juga terdapat 5.590 daerah aliran sungai.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia rentan terhadap bencana karena kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografisnya.

Berdasarkan data dari World Risk Report, Indonesia menduduki posisi ke-3 dengan indeks risiko sebesar 41,46 (World Risk Report, 2022). Hal ini
dipengaruhi bencana yang kerap terjadi beberapa tahun terakhir seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, tsunami, bencana perubahan iklim, dan lainnya.


Kerentanan Masyarakat

Kondisi masyarakat sangat mempengaruhi bagaimana risiko bencana yang akan dihadapi. Kondisi yang menyebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk menghadapi bencana ini disebut kerentanan.

Kerentanan masyarakat dapat dinilai dari beberapa aspek seperti kerentanan fisik dan kerentanan sosial. Kerentanan fisik adalah tingkat kepekaan masyarakat baik individu maupun komunitas yang merujuk pada faktor bangunan, infrastruktur/fasilitas umum, dan aksesibilitas.

Faktor ini dapat mempengaruhi tingkat kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana yang terjadi. Infrastruktur yang tahan terhadap bencana akan semakin mengurangi risiko bencana seperti risiko timbulnya korban jiwa dan kerugian material.

Sedangkan kerentanan sosial merupakan kerentanan yang merujuk pada aspek sosial seperti status ekonomi, pendidikan, gender, umur, dan aspek sosial lainnya (BNPB, 2007).

Faktanya, semakin minim kerentanan maka semakin minim pula risiko yang akan dihadapi. Pengetahuan menjadi salah satu aspek penting untuk mengatasi kerentanan tersebut.

Pengetahuan kebencanaan dapat mempengaruhi tindakan yang akan diambil masyarakat dalam menghadapi ancaman. Dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap bencana, masyarakat akan tahu bahaya potensial yang akan dihadapi dan paham bagaimana cara untuk meresponsnya.

Sebenarnya, kerentanan yang terjadi merupakan sebuah bentuk ketidaksiapan masyarakat jika dihadapkan dengan bahaya. Oleh karena itu, masyarakat dituntut untuk meningkatkan pemahaman kesiapsiagaan mengenai kebencanaan agar dapat meminimalisir risiko.

Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan di sekolah. Karena sekolah adalah lembaga yang sangat kuat (powerful) untuk membentuk dan mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat.

Sektor pendidikan adalah salah satu sektor yang seringkali menjadi korban dalam suatu bencana.

Tercatat dalam satu dekade terakhir, bencana di Indonesia telah melumpuhkan lebih dari 62.687 satuan pendidikan dengan lebih dari 12 juta siswa yang terkena dampak. Khususnya sepanjang tahun 2023, fasilitas pendidikan yang rusak mencapai 350 unit (BNPB, 2023).

Satuan pendidikan banyak memiliki berbagai kerentanan seperti kerentanan sosial yang merujuk pada faktor umur.

Anak-anak termasuk sebagai kelompok yang rentan terhadap bencana karena kurangnya pemahaman mengenai kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Disaster Risk Reduction (DRR) in Education adalah pendekatan pengurangan risiko bencana dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem pendidikan.

Pendekatan ini bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah adanya korban jiwa, melindungi dan memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan akses pendidikan yang berkelanjutan bahkan dalam situasi darurat bencana, serta membangun ketahanan masyarakat (UNICEF and UNESCO, 2011).

Implementasi pendekatan Disaster Risk Reduction (DRR) in Education melalui pendidikan kebencanaan sebagai tindakan preventif menjadi kepentingan yang mendesak untuk segera dilaksanakan.

Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 33 Tahun 2019 telah membentuk Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB).

SPAB merupakan upaya pencegahan penanggulangan bencana di satuan pendidikan (Direktori Penanggulangan Bencana, 2019). Penyelenggaraan SPAB langsung dibawahi oleh Sekretariat Nasional SPAB dan Sekretariat Bersama SPAB Daerah.

Sebagai salah satu wujud dari DRR in Education, SPAB terdiri atas 3 pilar yaitu Fasilitas Satuan Pendidikan Aman Bencana, Manajemen Bencana di Sekolah, dan Pendidikan Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana.

SPAB berfokus pada tahap pra bencana, situasi darurat bencana, pascabencana dan dilaksanakan oleh seluruh elemen satuan pendidikan dengan melakukan beberapa program seperti sosialisasi kesiapsiagaan, latihan evakuasi, perencanaan darurat sekolah, dan membangun fasilitas sekolah yang tahan bencana.

Dalam pelaksanaannya, SPAB telah masuk ke dalam RPJMN 2020-2024 pada Prioritas Nasional Nomor 6 dan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024.

Namun, sampai tahun 2023 hanya 18 daerah (provinsi/kabupaten/kota) yang telah membuat kebijakan terkait SPAB.

Daerah tersebut mencakup Kabupaten Sikka, Rembang, Pidie Jaya, Lombok Timur, Bangka Barat, Nagekeo, Lebak, Kota Bogor, Palu, serta Provinsi Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, DIY, DKI Jakarta, dan Jawa Barat

Hal ini berarti masih banyak daerah yang belum menginisiasi kebijakan dan pembentukan Sekretariat Bersama SPAB Daerah. Padahal, SPAB adalah sarana yang sangat berguna untuk mengurangi risiko bencana dan program ini tentu berdampak positif bagi setiap satuan pendidikan di Indonesia.

Salah satu contoh keberhasilan SPAB adalah SMP Negeri 10 Palu yang pada saat itu diguncang gempa dan tsunami. Tepat pada tanggal 28 September 2018, Kota Palu diguncang gempa dengan kekuatan 7,4 SR yang disusul tsunami dengan ketinggian sekitar 6 meter.

Said, seorang penyintas dari bencana Palu berkisah bahwa gempa besar mengguncang ketika mereka sedang bermain voli dan sampai terjatuh.

Pada saat itu, Said melihat air sudah naik dari arah pantai. Mereka langsung keluar dari pintu samping belakang yang disepakati (sesuai kesepakatan saat penerapan SPAB di sekolah) dan naik menuju gunung

Dari sepenggal cerita Said dapat disimpulkan bahwa simulasi dan denah jalur evakuasi darurat bencana sangat membantu Said dan warga sekolah untuk menyelamatkan diri.

SPAB memegang peran penting terhadap ketangguhan masyarakat khususnya satuan pendidikan dalam menghadapi ancaman bencana.

Oleh karena itu, diharapkan SPAB tidak hanya dilaksanakan oleh daerah pasca bencana dan rawan bencana saja, tetapi setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia tanpa terkecuali.

SPAB dapat dilaksanakan secara maksimal melalui pendekatan inklusif dan pendekatan multi pihak. Hal ini akan mendorong partisipasi keterlibatan semua satuan pendidikan dengan pengintegrasian pendidikan kebencanaan ke dalam kurikulum pengajaran.

Seluruh elemen masyarakat di Indonesia wajib untuk bersinergi dalam melaksanakan dan membentuk kebijakan SPAB. Kerja sama multi pihak sangat berguna untuk melakukan kolaborasi bersama untuk mendukung program ini.

SPAB seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab bersama tetapi menjadi komitmen bersama untuk keselamatan dan kesiapsiagaan satuan pendidikan.

Mengingat Indonesia akan terus dihadapkan dengan ancaman bencana ditambah dengan buruknya perubahan iklim dunia. Membangun kesiapsiagaan masyarakat baik individu ataupun komunitas akan meminimalisir risiko bencana.

Maka dari itu, sangat diharapkan seluruh satuan pendidikan mempercepat pelaksanaan SPAB dan evaluasi bersama dengan seluruh pemangku kepentingan. Keberhasilan SPAB ke depan akan menciptakan generasi bangsa yang sadar dan tangguh terhadap ancaman bencana.


Ramadhania Septia Ningrum adalah peneliti dari Indonesia Resilience, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pengurangan risiko bencana.