BNPP tegaskan posisi kelembagaan perbatasan masih lemah
5 Juni 2013 23:14 WIB
ILUSTRASI-Warga negara Timor Leste dari Distrik Oecusse ikut mengibarkan Bendera Timor Leste disamping Bendera Merah Putih saat penutupan Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD) di Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Selasa (4/6). (ANTARA FOTO/Laurensius Molan)
Yogyakarta (ANTARA News) - Posisi kelembagaan pengelola perbatasan hingga kini masih lemah karena belum ada sistem, kebijakan, dan instrumen pengelolaan perbatasan negara yang terintegrasi, kata Sekretaris Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan Triyono Budi Sasongko.
"Sistem perencanaan komprehensif, baik yang bersifat sektoral maupun spasial juga belum tersedia. Telah terjadi parsialitas, di mana kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan banyak tersebar di kementerian dan lembaga," katanya pada seminar "Cetak Biru Pengelolaan Perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia", di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, lemahnya koordinasi, integrasi, sinergitas, dan sinkronisasi menjadikan banyak kementrian dan lembaga sektoral teknis belum terlibat secara langsung dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
Untuk itu, sebagai agenda utama pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan perlu dilakukan penetapan dan penegasan batas wilayah negara dan meningkatkan upaya pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum.
Selain itu, juga perlu dilakukan pengembangan ekonomi kawasan, meningkatkan pelayanan sosial dasar masyarakat, dan penguatan kapasitas kelembagaan perbatasan negara.
"Oleh karena itu saya menyambut baik terbitnya buku Gagasan Pembangunan Kawasan Perbatasan Darat di Bidang Pengelolaan Potensi oleh UGM sebagai upaya mewujudkan cetak biru dalam mengelola perbatasan negara sekaligus sebagai salah satu pedoman dalam menyusun program," katanya.
Ia mengatakan, perlu perubahan paradigma dari "inward looking" menuju "outward looking". Paradigma "inward looking" melihat perbatasan negara hanya sebagai wilayah pertahanan yang harus dijaga secara militeristik, sedangkan paradigma "outward looking" memandang NKRI sebagai satu entitas yang memiliki elemen kedaulatan dan wilayah penduduk yang harus dilindungi secara utuh.
"Perbatasan negara selain sebagai wilayah pertahanan, juga memiliki sumber daya yang dapat digunakan secara ramah lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, kondisi kawasan perbatasan yang belum sepenuhnya aman dan tertib menyebabkan sering terjadi kasus pelanggaran batas negara dan lintas batas negara yang berpotensi merugikan negara.
"Secara fisik maupun arus komunikasi dan informasi banyak kawasan perbatasan masih terisolasi. Selain itu, juga masih banyak desa tertinggal di kawasan perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terluar (PPKT) karena terbatasnya infrastruktur dan sarana prasarana pelayanan publik," katanya.
(B015/H008)
"Sistem perencanaan komprehensif, baik yang bersifat sektoral maupun spasial juga belum tersedia. Telah terjadi parsialitas, di mana kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan banyak tersebar di kementerian dan lembaga," katanya pada seminar "Cetak Biru Pengelolaan Perbatasan Negara Kesatuan Republik Indonesia", di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, lemahnya koordinasi, integrasi, sinergitas, dan sinkronisasi menjadikan banyak kementrian dan lembaga sektoral teknis belum terlibat secara langsung dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
Untuk itu, sebagai agenda utama pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan perlu dilakukan penetapan dan penegasan batas wilayah negara dan meningkatkan upaya pertahanan, keamanan, dan penegakan hukum.
Selain itu, juga perlu dilakukan pengembangan ekonomi kawasan, meningkatkan pelayanan sosial dasar masyarakat, dan penguatan kapasitas kelembagaan perbatasan negara.
"Oleh karena itu saya menyambut baik terbitnya buku Gagasan Pembangunan Kawasan Perbatasan Darat di Bidang Pengelolaan Potensi oleh UGM sebagai upaya mewujudkan cetak biru dalam mengelola perbatasan negara sekaligus sebagai salah satu pedoman dalam menyusun program," katanya.
Ia mengatakan, perlu perubahan paradigma dari "inward looking" menuju "outward looking". Paradigma "inward looking" melihat perbatasan negara hanya sebagai wilayah pertahanan yang harus dijaga secara militeristik, sedangkan paradigma "outward looking" memandang NKRI sebagai satu entitas yang memiliki elemen kedaulatan dan wilayah penduduk yang harus dilindungi secara utuh.
"Perbatasan negara selain sebagai wilayah pertahanan, juga memiliki sumber daya yang dapat digunakan secara ramah lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, kondisi kawasan perbatasan yang belum sepenuhnya aman dan tertib menyebabkan sering terjadi kasus pelanggaran batas negara dan lintas batas negara yang berpotensi merugikan negara.
"Secara fisik maupun arus komunikasi dan informasi banyak kawasan perbatasan masih terisolasi. Selain itu, juga masih banyak desa tertinggal di kawasan perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terluar (PPKT) karena terbatasnya infrastruktur dan sarana prasarana pelayanan publik," katanya.
(B015/H008)
Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: