Jakarta (ANTARA News) - Dua kali persidangan perkara korupsi pengadaan "driving" simulator uji klinik pengemudi roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011 di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri diwarnai dengan kata "kardus".

Kardus-kardus tersebut ternyata bukan untuk membungkus alat simulator yang total anggarannya mencapai Rp198,7 miliar, melainkan menjadi wadah penyimpan uang untuk dan dari terdakwa mantan Kakorlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo.

Pada sidang Jumat (31/5) di Pengadilan Tipikor Jakarta, mantan bendahara Primer Koperasi Anggota Kepolisian (Primkoppol) Komisaris Polisi Legimo mengatakan bahwa ia menerima kardus besar uang dari direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto selaku pemenang tender simulator.

Legimo mengaku menerima uang Rp4 miliar pada April 2011.

"Setiap akan menerima dana, saya sebelumnya dipanggil pak Kakor (Djoko Susilo) untuk menerima titipan, beliau panggil dengan guyon, dul nanti ada titipan tolong disimpan dulu jangan diutak-utik," tambah Legimo.

Antaran Rp4 miliar tersebut menurut Legimo diberikan anak buah Budi Susanto, Wahyudi, yang dibungkus dalam kardus.

"Saya tahu jumlahnya Rp4 miliar dari yang mengantar, tapi uang itu untuk apa saya tidak tahu, saya hanya diperintah Pak Kakor untuk menerima," kata Legimo.

Setelah ia menerima uang, ajudan Djoko, Wasis atau sekretaris pribadi Djoko yang mengambil uang tersebut.

Selain uang Rp4 miliar, Legimo juga mengaku pernah menerima empat kardus besar dari Budi.

Empat kardus tersebut diserahkan pada Maret 2011 yang diantarkan oleh staf Budi Susanto, Wahyudi.

"Saya diberi tahu, kata beliau (Djoko), Pak jangan pulang dulu nanti ada titipan, akhirnya saya simpan di ruang kerja dan panggil staf untuk menunggu di kantor, piket di ruangan, sorenya Pak Kakor memanggil saya supaya jangan pulang dulu," ujar Legimo.

Namun karena istri Legimo baru operasi payudara, ia harus pulang ke rumahnya di Bekasi, tapi sesampainya di rumah, Legimo ditelepon supaya kembali ke kantor Korlantas.

"Karena jalannya agak lama, sampai di kantor beliau sudah ada di pintu parkiran, saya dimarahi, beliau perintahkan saya untuk berguling tapi saya tidak laksanakan perintah untuk jungkir balik, saya digampar dan saya tetap pergi ke ruang kerja saya" jelas Legimo.

Legimo akhirnya pergi ke ruangan kerjanya dan bersama staf Sulistiyanto membawa kardus uang untuk dimasukkan ke mobil Djoko dan Wasis.

Namun saat ditanya oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Olivia Sembiring mengenai jumlah uang dalam kardus, Legimo mengaku tidak tahu.

"Dalam BAP saudara menyatakan nilainya Rp30 miliar, apakah benar?" tanya Olivia.

"Tepatnya saya tidak tahu, saya tahu isinya uang karena saya dipanggil Pak Kakor karena saya bendahara untuk menerima titipan berupa uang," kata Legimo.

Dalam dakwaan, uang Rp30 miliar tersebut disebut merupakan bagian dari pencarian "driving" simulator roda dua (R2) sejumlah Rp48 miliar, dengan Rp17 miliar diambil oleh Budi Susanto.

Selain dari Budi Susanto, Legimo juga mengaku pada 2009-2011 sering menerima uang dari rekanan.

"Penerimaan dan pengiriman dana ke saya dikoordinir oleh Budi Susanto, dari perusahaan-perusahaan, satu bulan pengiriman bisa hingga empat kali dengan jumlah Rp2-3 miliar," kata Legimo.

Salah satu rekanan itu adalah PT Pura Group yang berlokasi di Kudus, Jawa Tengah.

"Kalau sepengetahuan saya PT Pura mengerjakan pekerjaan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor)," ujar Legimo.

Uang itu diambil Legimo sebanyak tiga kali pada 2009 dengan dibungkus kardus kecil berjumlah 7-10 kardus, Legimo mengambil uang di Subang dan diantar oleh supir PT Pura dengan mobil hingga kembali ke Jakarta.

Selain dari rekanan, dalam sidang, Djoko juga disebut rutin meminjam uang ke Primer Koperasi Anggota Kepolisian (Primkoppol) hingga Rp21 miliar.

"Ada pinjaman komando dari terdakwa Rp21 miliar sebagai pinjaman komando atas nama Primkoppol," kata saksi Ajun Komisaris Besar Polisi Teddy Rusmawan pada sidang Selasa (28/5) di pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam Primkoppol, kedudukan Djoko adalah sebagai ketua Dewan Pembina sedangkan Teddy menjabat sebagai ketua Primkoppol sekaligus ketua pengadaan simulator R2 dan R4.

"Besar peminjaman bervariasi antara Rp4 hingga 7 milar, diserahkan melalui staf Pak Djoko, kalau setiap pinjam bunyinya untuk dinas tapi bila digunakan untuk pribadi saya tidak tahu," kata Teddy.

Menurut Teddy, peminjaman Djoko ke Primkoppol tersebut tidak berdasarkan prosedur.

"Pinjaman Pak Djoko potong kompas, sebagai asas kebiasaan karena Primkopol digunakan untuk `back up` komando," kata Teddy.

Dari jumlah Rp21 miliar tersebut, hanya Rp3 miliar yang sudah dikembalikan, sehingga masih ada utang Djoko ke Primkoppol sebesar Rp18 miliar.

Teddy mengaku bahwa ia memiliki kuitansi peminjaman uang Djoko yang berupa uang tunai atas nama dirinya, ajudan Djoko, Wasis, sekretaris Djoko Tiwi, namun pengembalian uang menggunakan nama Kompol Legimo.

Uang Primkoppol itu berasal dari sejumlah usaha seperti fasilitas dan jasa tanda nomor kendaraan bermotor (tnkb), komersial, tanah di Cianjur, pompa bensin, `guest house`, gudang di Kapuk, toko, hotel dan usaha lain.

Saat bendahara Primkoppol, Khadijah menagih pinjaman tersebut, Djoko malah berkilah bahwa Legimo yang menggunakan uang tersebut.

"Uang itu belum dikembalikan sampai sekarang, karena saat beliau akan dipindah ke Semarang, saya dipanggil bendahara Primkoppol untuk menghadap, dan beliau (Djoko) mengatakan itu ke Legimo saja itu, saya disuruh bertanggung jawab," kata Legimo.

"Saya jawab, Pak dengan nilai uang sebesar itu saya untuk apa? Ini kan untuk kepentingan komando Pak, untuk kegiatan yang tidak didukung APBN," ujar Legimo menirukan jawabannya saat dimintai tanggung jawab uang.

Legimo sendiri mengaku punya buku khusus yang mencatat arus keluar masuk uang Djoko.

"Saya bukukan di buku khusus Kakor, bila Kakor butuh dana maka mengambil dana dari hasil pemberian perusahaan-perusahaan rekanan, tapi bila sudah tidak ada maka ambil ke Primkoppol, saya yang kelola buku itu dan beliau yang kontrol setiap dua minggu sekali atau sebulan sekali," katanya.

Sayangnya buku khusus yang mencatat penerimaan dan pengeluaran tersebut diambil Djoko saat akan berpindah tugas menjadi Kepala Akademi Kepolisian di Semarang.

"Saat beliau mau pindah ke Semarang, saya diminta buku itu dan saya serahkan ke staf beliau, Erna," tutur Legimo.


Pengeluaran

Uang dari rekanan Korlantas dan Primkoppol tersebut menurut Teddy dan Legimo digunakan untuk sejumlah keperluan, salah satunya adalah pemberian uang kepada sejumlah anggota badan anggaran DPR, juga masih dalam wadah kardus.

"Pemberian itu terkait ada penawaran Nazar untuk memberi bantuan akan ada anggaran diturunkan Rp600 miliar, Nazar mengatakan akan masuk anggaran pendidikan sehingga bisa dimasukkan ke kepolisian di bagian pendidikan, kami mengusulkan masuk ke Ditlantas," ujar Teddy.

Teddy mengaku mengantarkan uang itu untuk mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Herman Heri, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Azis Syamsudin, serta anggota DPR Komisi III dari fraksi Partai Gerindra Desmond Mahesa.

Terdapat dua kali pertemuan yaitu di restoran dekat tempat parkir di Plaza Senayan dan restoran Basara di Menara Summitmas.

"Saya menggunakan mobil Wasis ke cafe dekat tempat parkir di Plaza Senayan, yang menerima itu sopir dan ajudan, bapak-bapak Bambang Soesatyo dan Azis Syamsuddin sudah ada di situ," kata Teddy.

Uang itu merupakan uang Primkoppol yang dipinjam Djoko.

"Benar yang mengeluarkan uang adalah saya Rp4 miliar, ada kuitansinya Rp4 miliar," kata Teddy dengan nada yang sedikit tinggi karena keterangannya diragukan oleh tim kuasa hukum Djoko.

Selain untuk anggota banggar, Legimo juga mengaku pernah diperintah Djoko untuk membayarkan uang kepada sejumlah pihak. Antara lain kepada Nana Sukarna sebanyak Rp300 juta untuk mengurus kebun di Subang, membayar ke Noviyanto untuk membuat rumah joglo di Solo sebanyak empat kali pada 2010, menyerahkan uang ke notaris Erick Maliangkay sebanyak tiga kali, serta pemberian uang kepada orang lain.

Dalam dakwaan Djoko, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa Djoko pernah membeli tanah dengan total seluas 77.404 meter persegi di Jalan Kampung Cirangkong Desa Cirangkong Kecamatan Cijambe Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat yang dibeli dan diatasnamakan Eva Susilo Handayani.

Eva Susilo dalam dakwaan disebut merupakan anak Djoko dengan istri pertamanya Suratmi, padahal belakangan berdasarkan data akta kelahiran tahun 1992 Kotamadya Madiun, Eva Susilo Handayani adalah anak Sukarno Hadi Wiyono dan R. Titiek Roem Soeharti.

Sementara Erick Maliangkay adalah notaris yang namanya sering digunakan Djoko untuk membeli aset properti seperti SPBU di Jakarta Utara, tanah di Jakarta Selatan, Semarang, Depok dan tempat lain yang kepemilikannya diatasnamakan Dipta Anindita, salah satu istri Djoko.

Djoko dan Dipta diketahui menikah pada 1 Desember 2008 di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah.

Untuk menyembunyikan identitas, Djoko menggunakan nama Joko Susilo bin Sarimun Karto Wiyono dengan status jejaka, meski ia masih terikat pernikahan dengan Suratmi dan pekerjaan sebagai wiraswasta.

Selain Dipta, Djoko juga diketahui menikah dengan Mahdiana pada 27 Mei 2001 di KUA Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan dengan menggunakan nama Joko Susilo bin Sarimun yang statusnya juga masih bujangan dan pekerjaan swasta.

KPK mencatat setidaknya total harta Djoko mencapai Rp117,74 miliar pada periode 2003-2012 dengan rincian harta pada 2010-2012 mencapai Rp42,95 miliar dan pada 2003-2010 mencapai Rp53,89 miliar dan 60 ribu dolar AS yang diatasnamakan istri-istrinya atau orang lain.

Atas kesaksian dua bekas anak buahnya tersebut, Djoko pun membantah semuanya.

"Bahwa saya terima Rp30 miliar dari Budi Susanto itu tidak benar," kata Djoko.

"Berkaitan dengan memberikan uang kepada pihak lain yaitu Nazaruddin dan sebagainya tidak pernah saya memberikan uang kepada siapapun atau politikus, itu tidak benar," tambah Djoko.

"Koperasi sesuai aturan anggota diproses sesuai aturan, ada ketentuan yang kami tegaskan harus ada permohonan dan kuitansi, jadi saya tanya utang saya berapa? Rp18 miliar? Saya sampaikan bahwa saya tidak merasa pinjam uang itu," ujar Djoko.

"PT Pura itu saya diberitahukan saksi (Legimo) akan dibantu, itu pada 2009, tapi tidak pernah diberikan ke saya dan penggunaannya semua untuk operasional, dan tidak pernah dicatat hasil titipan saya pribadi," kata Djoko.

"Saya tidak pernah terima dari Budi Susanto atau hasil koordinir, saya tempeleng Legimo benar tapi bukan kasus pemberian dus tapi karena dia selalu tidak ada beberapa hari jadi saya tempeleng," kata Djoko beruntun. (D017/KWR)