"Disparitas menjadi tantangan kami karena memang ada provinsi yang tingkat angka kelahiran total (TFR) masih di atas 3, namun ada juga provinsi yang sudah di angka 2 atau bahkan di bawah 2," kata Plt. Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Sukaryo Teguh Santosodi Jakarta, Selasa.
Teguh pada gelar wicara Strategi Penurunan Unmet Need dan Peningkatan KB Pascapersalinan (KBPP) 2023 menjelaskan disparitas itu mempengaruhi jangkauan serta implementasi berbagai program turunan yang saling berkaitan, mulai dari kegiatan kampanye edukasi, bakti sosial pelayanan kesehatan, hingga penyuluhan.
Baca juga: Kepala BKKBN: Perlu ada diagnosis "unmet need" yang terukur jelas
Baca juga: DIY berhasil melampaui target penggunaan alat kontrasepsi modern
Pertama, disparitas menyulitkan akses masyarakat ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat yang menyediakan edukasi, konsultasi, serta pemasangan alat kontrasepsi, khususnya di wilayah tertinggal, terpencil dan perbatasan yang memang menyumbang angka tinggi pada TFR level nasional.
Pada saat yang sama, pelayanan kesehatan yang terdekat dari masyarakat juga sering kali tidak mampu memberikan fasilitas dan layanan yang optimal, termasuk dalam hal pemasangan KB usai persalinan karena terbatasnya perlengkapan maupun peralatan penunjang.
Keterbatasan pelayanan kesehatan itu menjadi dampak lain dari faktor disparitas yang membuat biaya transportasi serta distribusi menjadi mahal.
Namun begitu, Teguh mengingatkan faktor disparitas bukanlah penghambat untuk mencapai sederet target, termasuk yang berkaitan dengan pengendalian pertumbuhan penduduk selama adanya sinergi dan kolaborasi lintas kementerian, organisasi maupun lembaga.
Baca juga: Layanan kontrasepsi oleh bidan berperan turunkan stunting
Baca juga: BKKBN perpanjang waktu pemenuhan target 1,5 juta akseptor kontrasepsi