Jakarta (ANTARA) - Kematian Dini Sera Afrianti, janda satu anak, usia 29 tahun, menggemparkan jagat maya, pasca video rekaman yang memperlihatkan kondisinya pasca dianiaya kekasihnya, Gregorius Ronald Tannur (31), beredar luas di media sosial.
Polrestabes Surabaya kemudian menetapkan putra dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ini sebagai tersangka atas kematian Dini.
Gregorius Ronald Tannur dijerat dengan pasal 351 dan 359 KUHP tentang Penganiayaan dan Kelalaian dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Tak hanya itu, tersangka juga dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan.
Buntut dari kasus ini, sang ayah dari pelaku dinonaktifkan dari jabatannya sebagai legislator.
Kasus kekerasan terhadap perempuan yang menyita perhatian publik juga terjadi September 2023, lantaran kisah korban beredar di media sosial.
Seorang suami bernama Nando (25) tega membunuh istrinya, Mega (24) di rumah kontrakan mereka di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Tragisnya, peristiwa pembunuhan itu diduga disaksikan kedua anak mereka yang masih balita.
Pembunuhan yang terjadi pada Kamis (7/9) malam itu diduga diawali dengan pertengkaran pelaku dan korban karena persoalan ekonomi.
Usai menghabisi sang istri, Nando kemudian menitipkan kedua anaknya ke ibu mertuanya. Selanjutnya pelaku pergi ke rumah orang tuanya dan menyerahkan diri ke Polsek Cikarang Barat.
Peristiwa pembunuhan ini baru diketahui saat ibu korban datang ke rumah kontrakan pada Sabtu (9/9) dini hari dan melihat anaknya terbaring di kasur dalam keadaan tak bernyawa.
Femisida
Komnas Perempuan berpandangan bahwa kasus pembunuhan istri yang dilakukan suaminya di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, serta kasus penganiayaan berat berujung kematian Dini Sera Afrianti di Surabaya masuk ke dalam kategori femisida.
Serentetan penganiayaan yang dialami Dini maupun Mega menunjukkan bahwa ragam kekerasan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai femisida, yaitu pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena mereka adalah perempuan.
Terdapat relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacar atau suaminya.
Menurut Komnas Perempuan, dalam femisida, terdapat pola-pola yang berbeda dengan pembunuhan biasa, yaitu disebabkan oleh kekerasan seksual dengan atau yang berakhir pembunuhan, ketersinggungan maskulinitas seksual laki-laki, kecemburuan, kawin siri yang tidak ingin terbongkar, menghindari tanggung jawab karena menghamili, prostitusi terselubung, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan dalam pacaran.
Pelaku biasanya orang-orang yang dikenal korban, orang dekat, baik pacar, teman kencan, suami, atau "pelanggan" korban.
Komnas Perempuan menganalisa putusan tentang kasus kematian yang terjadi pada perempuan.
Dari 100 putusan pengadilan terkait kematian istri, terdapat 15 kasus yang dikategorikan menjadi kasus femisida pasangan intim.
Hasil analisis putusan pengadilan kasus pembunuhan terhadap perempuan menunjukkan 60 persen lokasi pembunuhan berada di rumah.
Sedangkan pemantauan terhadap pemberitaan daring terkait kasus pembunuhan perempuan selama Juni 2021-Juni 2022, ditemukan 307 kasus.
Dari 307 total kasus yang ditemukan, terdapat 84 kasus femisida pasangan intim, baik pelakunya suami atau mantan pasangan.
Menurut anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat, kekerasan berulang dan berkelanjutan dalam relasi personal berpotensi sebagai silent killer.
Rainy menambahkan bahwa femisida merupakan bentuk tindak kekerasan yang paling ekstrem.
Oleh karena itu, femisida umumnya didahului serangkaian kekerasan terhadap perempuan, baik menggunakan alat-alat tertentu maupun dengan kekuatan fisik, seperti tangan dan kaki.
Sementara Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Eni Widiyanti menyebut jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan bagaikan "puncak gunung es".
Dia mengatakan jumlah kasus KDRT yang terjadi sebenarnya jumlahnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan.
Edukasi masyarakat
Kementerian PPPA menekankan pentingnya sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengingat masih tingginya jumlah kasus KDRT, meskipun keberadaan UU PKDRT hampir berusia dua dekade.
Pihaknya meyakini dengan membangun literasi masyarakat dapat mencegah terjadinya KDRT.
Undang-Undang PKDRT adalah peraturan perundangan yang merupakan bukti bahwa negara hadir untuk mewujudkan tujuan negara melindungi segenap bangsa Indonesia, khususnya pada kelompok yang rentan menjadi korban, yaitu perempuan.
Penghapusan KDRT sendiri memiliki dua dimensi, yakni dimensi pencegahan agar tidak KDRT tidak terjadi dan mencegah keberulangan kasus.
Dimensi kedua, yakni penanganan. Eni juga menekankan bahwa upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga harus dilakukan berbagai pihak.
Kemudahan masyarakat mengakses media sosial menjadi salah satu pintu untuk mengungkap berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan.
Di sisi lain kita juga menyadari kasus-kasus yang terungkap baru sebagian kecil dari banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat kerap masih dianggap sebagai urusan pribadi, sehingga menyebabkan korban enggan melapor, menjadi salah satu kendala upaya penerapan UU PKDRT.
Ini menekankan pentingnya edukasi terhadap perempuan dan masyarakat pada umumnya untuk mengetahui jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan dan apa yang harus dilakukan jika hal tersebut terjadi di sekitar mereka.
Artikel
Lewat medsos menilik puncak gunung es kekerasan terhadap perempuan
Oleh Anita Permata Dewi
17 Oktober 2023 14:06 WIB
Ilustrasi korban kekerasan (ANTARA/HO)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023
Tags: