Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengimbau masyarakat tak mudah terprovokasi kabar bohong atau hoaks menjelang pendaftaran bakal pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang dijadwalkan pada tanggal 19-25 November 2023.

"Sekarang di era post-truth, orang mudah sekali terprovokasi dengan hal-hal yang sekiranya tidak faktual, aktual, bahkan direkayasa," kata Anggota KPU RI Idham Holik di Jakarta, Jumat.

Dalam menggunakan kebebasan berekspresi, lanjut Idham, masyarakat Indonesia perlu mengedepankan etika berbangsa yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.

"Jadi, kebebasan berekspresi yang etis; karena selama ini di beberapa tempat, tidak hanya di Indonesia, kalau sudah kebebasan berekspresi tidak etis, maka akan memunculkan konflik," jelasnya.

Dia juga mengajak seluruh masyarakat untuk tidak mudah terpancing dengan adu domba yang sengaja dilakukan oleh sejumlah oknum, mengingat pemilu cukup rentan dengan disintegrasi. Masyarakat harus cerdas dalam menyaring informasi yang beredar di media sosial karena kabar bohong sangat mudah menyebar luas.

Baca juga: Kaspersky bagikan tips hindari penipuan deepfake pada Pemilu 2024

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memprediksikan puncak penyebaran hoaks mengenai Pemilu 2024 di media sosial akan terjadi pada bulan Februari 2024. Hal itu bercermin pada fenomena yang terjadi pada Pemilu 2019, di mana puncak hoaks terjadi pada bulan April 2019, saat berakhirnya tahapan kampanye, sampai menjelang pemungutan suara.

"Kalau saat ini, bukan tidak mungkin, hoaks itu akan meningkat dan memuncak di akhir November 2023, pada tahapan kampanye sampai awal Februari 2024, menjelang tahapan pemungutan suara," kata Anggota Bawaslu RI Herwyn J. H. Malonda di Jakarta, Sabtu (2/9).

Berdasarkan data pada Pemilu 2019, lanjut Herwyn, sebanyak 501 isu hoaks menyebar menjelang tahapan pemungutan suara.

Situasi tersebut perlu diantisipasi karena berdampak pada kualitas pemilu yang dapat memperkuat kemunculan polarisasi di tengah masyarakat, munculnya ketidakpercayaan pada penyelenggara pemilu, dan masyarakat menjadi tidak percaya pada hasil pemilu; sehingga hal itu berdampak pada terjadinya konflik hingga kekerasan.

Baca juga: Dewan Pers: Hindari kecenderungan meneruskan hoaks