"Istilah back to nature mendorong pemanfaatan herbal yang berdampak terhadap kesehatan serta semakin sering melakukan kajian dan studi terkait herbal oleh para ilmuwan," kata Kepala Pusat Riset Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Sofa Fajriah dalam sebuah seminar yang dikutip di Jakarta, Jumat.
Menurut Sofa, kesadaran penggunaan obat herbal itu muncul sejak zaman nenek moyang.
"Hal itu dilakukan oleh masyarakat tentunya karena khasiatnya sudah terbukti dapat mengobati penyakit, lebih murah, dan efek samping lebih kecil bahkan hampir tidak ada," kata Sofa.
Berdasarkan prediksi Research and Markets, potensi pasar produk obat herbal mencapai 411,2 miliar dolar AS pada 2026, dengan kenaikan rata-rata adalah 30 persen per tahun.
Kenaikan itu dipicu pandemi COVID-19 yang meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan lebih memilih untuk menjaga kesehatan ketimbang mengobati penyakit.
Sofa Fajriah juga menjelaskan, di Indonesia sumber bahan baku obat herbal dan obat tradisional sebagian besar masih dipasok dari alam dengan komposisi mencapai 85 persen.
Beberapa sumber bahan baku obat herbal berasal dari tanaman yang tumbuh di taman nasional, hutan-hutan, dan kebun-kebun.
Selain nilai kesehatan dan ekonomi yang tinggi, penggunaan obat herbal yang kian masif juga didorong oleh para penyehatan tradisional.
Berdasarkan data Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) Kementerian Kesehatan tahun 2015 dan 2017, distribusi penyehatan tradisional terbesar ada di Jawa Tengah mencapai 11,90 persen, Sulawesi Tengah sebanyak 11,10 persen, Jawa Barat sebanyak 7,80 persen, dan Sulawesi Selatan mencapai tujuh persen.
"Profil penyehatan tradisional sebagian besar adalah petani dengan angka mencapai 50,14 persen dan penyehatan tradisional murni 22,95 persen, sedangkan sisanya berprofesi sebagai TNI-Polri, ASN, dan lain-lain," kata Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Suharmiati.