Makassar (ANTARA) -- Perkawinan anak sering kali menimbulkan persoalan susulan seperti perceraian dan stunting. Melihat situasi ini, Kementerian Agama (Kemenag) terus melakukan upaya serius.




"Pemerintah punya ambisi untuk menekan angka kawin anak menjadi 14 persen di tahun 2024," ujar Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kemenag, Kamaruddin Amin, dalam kegiatan Seminar Nasional Cegah Kawin Anak di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu.



Ia menjelaskan, persoalan tersebut perlu diatasi dengan kolaborasi berbagai pihak. "Butuh kolaborasi dan komitmen seluruh bangsa untuk menyelesaikan persoalan ini. Pernikahan anak ini bukan hanya menjadi concern di Indonesia, tapi juga dunia," ujarnya.



Upaya pencegahan perkawinan anak, imbuhnya, merupakan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah, keluarga, dan masyarakat perlu berperan aktif dalam mencegah perkawinan anak. Pemerintah, dikatakannya, telah melakukan sejumlah upaya untuk mencegah kawin anak, di antaranya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia minimal menikah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.



Terpisah, Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah, Agus Suryo Suripto mengatakan, perkawinan anak akan melahirkan sejumlah dampak negatif.



"Perkawinan anak memiliki dampak negatif baik secara fisik, sosial, maupun psikologis. Secara fisik, anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih berisiko mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, serta kematian ibu dan anak," ungkapnya.



Secara sosial, imbuh Suryo, anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan diskriminasi. "Sementara secara psikologis, anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, dan trauma," imbuhnya.



"Dengan bekerja sama, kita dapat mewujudkan generasi yang berkualitas dan bebas dari perkawinan anak," pungkasnya.