Singapura (ANTARA News) - Puluhan murid berseragam taman kanak-kanak tampak berbondong-bondong mendekati stempel timbul (embossing). Mereka kemudian berbaris dan secara bergantian menstempel kertas bergambar menandai ruang mana saja yang telah dikunjungi.
“Mereka sedang mengerjakan tugas. Mengenali, menandai dan mencatat sambil memadukan gambar adalah pekerjaan mereka usai mengamati koleksi museum ini,” kata Kurator Museum Peranakan Singapura, Jackie Yoong.
Adapun stempel timbul, menurut dia, adalah bukti kunjungan setiap murid dari 10 galeri atau ruang koleksi yang didatangi.
“Ya, mirip permainan mencari harta karun. Mereka diajak berpetualang melacak kebudayaan masa lalu masyarakat di Singapura. Bisa jadi mengenai nenek moyang mereka, atau bisa juga nenek moyang temannya,” ujar asisten dosen di National University of Singapore (NUS) itu.
Jackie mengemukakan, kata “peranakan” yang digunakan museumnya bermakna “anak dari” atau “lahir dari” dengan merujuk garis keturunan seseorang. Peranakan dimaknai pula anak yang lahir dari percampuran garis keturunan suku bangsa yang asli lahir di Malaya (kini Malaysia dan Singapura).
Adapun fokus dari Museum Peranakan, menurut alumnus University of North Carolina at Chapel Hill di Amerika Serikat (AS) itu, kebanyakan menelaah memiliki garis keturunan China, Jawi Peranakan (Muslim India) dan Chitty Melaka (India) di Singapura.
“Terminologi ini mungkin ada kesamaan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Namun, museum ini lebih menekankan Peranakan China di Asia Tenggara bersama peranakan lainnya di Singapura,” katanya.
Jackie merinci, Museum Peranakan terbagi 10 galeri yang menempati tiga lantai bangunan bekas sekolah China Tao Nan yang dibangun selama dua tahun mulai 1910.
Galeri pertama disebut “Origin” (asal-usul) sebagai wahana untuk mengetahui “siapa saya” berkaitan dengan koleksi sejarah garis keturunan kalangan Peranakan Singapura.
Memasuki galeri kedua hingga kelima dinamai “Wedding” (pernikahan) yang memamerkan berbagai perlengkapan ritual pernikahan di kalangan peranakan Negeri Singa itu. Bahkan, di galeri inilah diperlihatkan adat perayaan pernikahan selama 12 hari penuh.
“Berbagai perlengkapan pernikahan kami pamerkan, seperti sejumlah model pakaian pengantin, terutama wanita, yang aneka corak,” ujar Jackie.
Dalam galeri keenam disebut “Nonya” (perempuan), dan pengunjung dapat menyaksikan sejumlah pernak-pernik bagi anak perempuan jelang akil balik., antara lain kebaya dan sarung.
“Galeri ini memaknai anak-anak perempuan dididik ibunya untuk memasuki kehidupan dewasa. Mereka diajari menjahit, menyulam dan memasak, serta bersolek. Ini semua bekal untuk memasuki pernikahan,” katanya.
Di galeri ketujuh disebut “Religion” (agama), yang memamerkan berbagai peralatan ibadah masyarakat Peranakan Singapura. Satu altar suci umat Katholik keturunan China dan Melayu juga dipamerkan. Selain itu, sejumlah patung dewa umat Kong Hu Cu diperlihatkan dalam berbagai ukuran.
Agama dan kepercayaan kepada Tuhan Penguasa Alam, menurut dia menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Asia, termasuk kaum Peranakan Singapura. “Inilah semangat hidupnya,” ujar Jackie.
Untuk galeri kedelapan dinamai “Public Life” (kehidupan di publik), dan pengunjung dapat menyaksikan berbagai koleksi pribadi dari sejumlah tokoh Peranakan Singapura dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah perlengkapan pribadi Bapak Singapura, Tan Kim Seng (1805-1864).
Galeri kesembilan disebut “Food and Feasting” (makanan dan pesta), serta galeri kesepuluh dinamai “Conversation” (percakapan). Dua galeri tersebut memperlihatkan kebudayaan kaum Peranakan Singapura dalam bersantap, dan membicarakan banyak hal kehidupan.
“Dalam galeri makanan dan pesta ada satu meja panjang lengkap dengan kursi, alat makan porselen, serta lampu penerangnya. Ini khas kaum Peranakan saat pesta bersama keluarga dan sahabat,” kata Jackie.
Sementara itu, pengunjung museum dapat memanfaatkan ruang percakapan untuk mendiskusikan berbagai kehidupan masyarakat, termasuk masa depan kaum peranakan.
“Cakap-cakap adalah langkah sosialisasi bagi semua suku bangsa. Bagi kaum peranakan, sosialisasi semacam ini pula yang akan dapat menentukan siapa jodoh mereka, dan keturunan mereka kelak,” demikian Jackie Yoong.
Direktur Marketing dan Komunikasi Korporat Dewan Warisan Nasional Singapura (National Heritage Board/NHB), Cheryl Koh, mengemukakan bahwa semua koleksi museum adalah sumbangan dari individu maupun lembaga.
“Ada pula yang kami beli atas biaya negara, namun ada pula atas dukungan mitra sponsor dari lembaga internasional,” ujarnya.
Pendanaan semacam ini, menurut dia, juga untuk pengadaan berbagai peralatan multimedia, seperti komputer, layar lebar, dan efek tata suara sebagai sarana pendukung penyampaian informasi kepada pengunjung museum.
Ia mengemukakan, Museum Peranakan yang berlamat di Armenian Street termasuk di kawasan Kampong Glam, yang awalnya adalah permukiman masyarakat Bugis dan Jawa beragama Islam.
“Kawasan ini juga merupakan contoh kehidupan antar-suku bangsa, termasuk bermukimnya kaum peranakan. Pemerintah Singapura memanfaatkan kebudayaan ini sebagai obyek wisata bersejarah,” kata Cheryl menambahkan (*)
Melacak jati diri di Museum Peranakan Singapura
Oleh Priyambodo RH
27 Mei 2013 14:37 WIB
Jackie Yoong, memamerkan peralatan makan koleksi Museum Peranakan Singapura. (ANTARA/Priyambodo RH)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013
Tags: