Jakarta (ANTARA News) - Larangan bagi perempuan dewasa menarikan Tari Seudati oleh Bupati Aceh Utara, Muhammad Thaib sudah memasuki tahap intervensi yang terlalu jauh terhadap seni dan privasi.
"Larangan itu bertentangan dengan pasal 10 UU 18/2001 tentang otonomi khusus Aceh. Pasal 10 UU No.18/2001 mengatur bagaimana adat dan budaya dipertahankan untuk menyatukan masyarakat," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Nurul Arifin di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senin.
Menurut mantan anggota Komisi II DPR RI itu, karena kebijakan ini bertentangan dengan pasal 10 UU No.18/2001, larangan tersebut bisa menghancurkan tradisi dan kebudayaan masyarakat Aceh.
"Sekaligus menunjukan betapa perempuan akan terkurung dalam kapitalisasi kekuasaan Bupati.
Persaingan Perda yang hanya merepresi perempuan. Sekali lagi perempuan menjadi korban politik dan memperlihatkan wajah politik yang maskulin," kata Nurul yang saat ini duduk di Komisi I DPR RI.
Ia menilai, Bupati Aceh Utara yang melarang perempuan Aceh menarikan tari Seudati, yang merupakan tarian asal Aceh Utara itu karena ingin meniru kebijakan larangan duduk mengangkang yang diterapkan oleh Walikota Lhoksumawe.
"Tentu tak bisa disamakan karena ini kebijakan yang bisa menggantung tradisi. Ini adalah budaya masyarakat. Apakah kebijakan larangan yang diterapkan oleh Bupati akan melarang juga tarian sebagai tradisi dan kebudayaan masyarat tersebut," ujar dia.
Ia mengatakan dalam pasal 10 ayat (3) UU 32/2004 hanya mengatur 6 urusan pemerintah pusat, yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan agama. Selebihnya diserahkan pada daerah.
"Di dalam UU 18/2001 tentang Otsus Aceh mengatur tentang lembaga pemerintahan, syarat menjadi gubernur yang berbeda dengan syarat calon Gubernur yang diatur dalam UU 32/2004," ungkap Nurul.
Larangan menarikan Tari Seudati bentuk intervensi
27 Mei 2013 09:42 WIB
Nurul Arifin (ANTARA/Reno Esnir)
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013
Tags: