Jakarta (ANTARA) - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi memiliki konflik kepentingan dalam memutus perkara gugatan terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menjelang Pemilu 2024.
"Permohonan uji materi tersebut secara tidak langsung menempatkan hakim MK pada posisi konflik kepentingan," kata Petrus dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan selama ini permohonan perubahan batas usia pejabat publik dilakukan melalui proses dan mekanisme legislasi antara DPR dan Pemerintah karena menyangkut kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
Baca juga: Mahfud sebut MK tidak berwenang ubah batas usia capres-cawapres
Petrus mencontohkan produk hukum, khususnya terkait batas usia jabatan publik, yang pernah digodok lewat legislasi di DPR ialah Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, di mana saat itu mengubah batas usia minimum capres dan cawapres dari 35 tahun menjadi 40 tahun.
Selanjutnya, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, batas usia minimum capres dan cawapres diputuskan tetap pada 40 tahun.
Begitu pula perubahan batas usia minimum dan maksimum hakim MK. Pada UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, usia hakim ditetapkan minimum 40 tahun dan pensiun pada usia 67 tahun.
Kemudian, batas minimum usia hakim MK itu diubah melalui open legal policy DPR menjadi 47 tahun dan pensiun di usia 65 tahun.
"Segala perubahannya dilakukan dengan cara mengubah UU melalui proses legislasi di DPR dan Pemerintah, karena menyangkut apa yang disebut open legal policy yang menjadi domain DPR dan Pemerintah, bukan domain MK lewat uji materi UU," tegasnya.
Baca juga: Jimly: Gugatan batas usia di MK hanya cari panggung politik
Menurut dia, pada perubahan UU MK dan UU Pemilu tersebut, MK tetap konsisten tunduk pada pendirian bahwa perubahan batas usia minimum dan/atau maksimum jabatan publik merupakan kebijakan open legal policy yang masuk dalam domain atau kewenangan DPR dan Pemerintah melalui proses legislasi.
Petrus menyarankan hakim MK harus mengundurkan diri dari proses uji materi itu. Terlebih, jika proses uji materi tersebut berpotensi "menggoda" hakim MK untuk juga mengubah batas usia hakim itu sendiri.
"Tidak tertutup kemungkinan hakim-hakim MK pun akan sangat bernafsu mengubah usia minimum calon hakim MK dan sekaligus memperpanjang batas usia pensiun hakim MK melalui uji materi untuk kepentingan dirinya atau kroninya kelak," kata Petrus.
Baca juga: MK bakal putus uji materi batas usia capres-cawapres pada 16 Oktober
Selain itu, lanjutnya, konflik kepentingan dari uji materi batas usia capres-cawapres itu juga berpotensi sarat kepentingan mengingat Ketua MK Anwar Usman memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Joko Widodo sebagai ipar.
Terlebih lagi, salah satu tokoh yang saat ini akan diusung menjadi cawapres untuk Pemilu 2024 dan terkendala syarat batas usia ialah Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang juga putra sulung Jokowi.
"Oleh karena itu, jika MK mengubah batas usia minimum menjadi 35 tahun, atau tetap 40 tahun tetapi pernah menjabat sebagai kepala daerah, maka MK bukan lagi berfungsi sebagai pengawal konstitusi dan hakim-hakim MK bukan lagi negarawan; tetapi mereka menjadi kepanjangan tangan kepentingan dinasti oligarki," ujar Petrus.
Baca juga: Pengamat ingatkan MK hati-hati soal gugatan batas usia capres-cawapres
TPDI: Gugatan usia capres-cawapres berpotensi konflik kepentingan
11 Oktober 2023 12:28 WIB
Koordinator TPDI Petrus Selestinus. (ANTARA/Riza Harahap)
Pewarta: Fauzi
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023
Tags: