Jakarta (ANTARA) - Meskipun berada di tengah tekanan konflik politik dengan Israel, pegiat fesyen di Palestina tetap bisa berkarya dan menghasilkan produk dengan menerobos batasan-batasan yang ada.
"Terisolasi satu sama lain secara geografis, sebagian besar perajin yang bekerjasama dengan kami belum pernah bertemu dan bahkan perlu bekerjasama secara digital untuk menghidupkan garmen, mewakili upaya kreatif yang telah mengalahkan batasan yang ada," tulis Nol Collective, sebuah inisiatif yang didirikan oleh Yasmeen Mjalli.
Mjalli melahirkan Nol Collective lantaran terdorong untuk menghidupkan kembali praktik-praktik masyarakat adat Palestina dalam menghasilkan karya fesyen tradisional yang unik.
Mjalli awalnya terinspirasi foto karya Thomas Abercrombie dari National Geograpich yang mengambil foto yang mengubah segalanya bagi seorang wanita muda Palestina.
Baca juga: Mewujudkan Indonesia sebagai kiblat fesyen lewat koneksi antar pelaku
Foto tersebut menggambarkan seorang pria berdiri di sebuah pantai di Gaza dikelilingi ratusan gulungan benang berwarna merah, kuning, dan biru. Yasmeen Mjalli terpesona dengan bidikan ini, dan dia belum pernah melihat hal seperti ini di Palestina, tulis The Guardian mengenai kelahiran Nol Collective.
Dari desa-desa di perbukitan Jerusalam hingga Gaza, Ramallah, dan Betlehem, Nol Collective bekerjasama dengan bisnis milik keluarga, bengkel perajin, dan koperasi perempuan menghasilkan kreasi kolektif yang indah.
Teknik tradisional dan leluhur dari jaringan kreatif ini membawa kecintaan Nol Collective terhadap tanah dan cerita.
Kerajinan tradisional Palestina seperti tatreez (sulaman tangan) dan tenun tersentuh oleh sejarah perjuangan dan perlawanan politik. Untuk tatreez, Nol Collective bermitra dengan koperasi perempuan setempat.
Itu meliputi lebih dari 60 perempuan dari Gaza hingga al Khalil, koperasi Touch of Heritage adalah kekuatan kreatif dan politis, tulis Nol Collective dikutip dari laman resminya, Rabu.
"Kami juga menggunakan kain tenunan tangan tradisional Majdalawi, kain katun 100 persen yang merupakan elemen penting dari pakaian tradisional Palestina selama berabad-abad. Berasal dari wilayah Gaza, dari Kota Al Majdal yang dibongkar, kain majdalawi ini ditenun dengan tangan di salah satu studio pengrajin terakhir yang tersisa di Palestina," katanya.
Baca juga: Dior rilis koleksi Ramadhan khusus Timur Tengah
Baca juga: Ketahui tren warna rambut "Pumpkin Spice Latte" 2023
Ramah lingkungan
Di tengah gempuran industrialisasi dan komersial, Nol Collective berupaya tetap menjaga kealamian bahan-bahan yang digunakan dalam fesyen Palestina.
Palestina, seperti komunitas adat di seluruh dunia, memiliki hubungan yang harmonis dan penuh hormat secara historis dengan tanah airnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, praktik-praktik seperti penggunaan serat alami, pewarnaan alami, dan tenaga kerja yang lambat telah terancam di tengah dunia yang semakin terindustrialisasi dan komersial.
Terlebih lagi, praktik-praktik ini terancam dihapuskan melalui perampasan dan kekerasan di bawah pendudukan militer.
"Dengan secara perlahan menggabungkan praktik-praktik leluhur seperti pewarnaan alami dan bermitra dengan koperasi yang menenun atau menyulam tangan, serta menggunakan bahan-bahan alami dan bahan baku, kami berharap dapat memicu perbincangan yang lebih sadar mengenai dampak interseksional fesyen terhadap lingkungan, politik, dan identitas," tulis Nol Collective menegaskan komitmennya.
Baca juga: Pertama kali tampil global, Benang Jarum hadir di London Fashion Week
Baca juga: Heaven Lights ajak semua wanita rayakan diri sendiri
Baca juga: Gaya busana modest bersama Bestie dan Brotherhood
Fesyen Palestina tetap hidup di tengah tekanan konflik
11 Oktober 2023 09:20 WIB
Ilustrasi: Fesyen Palestina. (ANTARA/Nol Collective)
Penerjemah: Suryanto
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023
Tags: