Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengakui bahwa persoalan terkait nelayan di berbagai daerah di Tanah Air cukup kompleks.

"Persoalan perikanan, khususnya yang terkait dengan nelayan begitu kompleks," kata Sharif Cicip Sutardjo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Menurut Sharif, terdapat banyak masalah yang menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama antara pemerintah dan pemangku kepentingan.

Ia memaparkan, beberapa pekerjaan rumah tesebut antara lain belum kuatnya akses nelayan terhadap sumber-sumber pembiayaan, teknologi, dan pasar.

Di sisi lain, ujar dia, terlihat masih terdapat sistem budaya yang menghambat nelayan untuk maju, misalnya adat istiadat yang kurang terbuka terhadap hal-hal baru dan tata kelola keuangan yang belum kondusif.

"Ditambah lagi dengan risiko kerja yang tinggi di laut, ketergantungan dengan faktor alam, ketergantungan terhadap BBM sebagai komponen utama usaha, serta sering terjadinya konflik antarkelompok," katanya.

Sharif menambahkan, tantangan dalam pembangunan kelautan dan perikanan ke depan akan semakin banyak sehingga diperlukan sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, organisasi nelayan dan masyarakat.

Karena itu, Sharif mengutarakan harapannya kepada HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) agar dapat berperan aktif untuk memfasilitasi dan menjalankan fungsi intermediasi agar potensi-potensi konflik yang ada di masyarakat nelayan dapat diredam dan dicarikan solusinya.

Menurut Sharif, peran HNSI akan semakin penting, terutama dalam memfasilitasi dan memperkuat pemberdayaan nelayan untuk meningkatkan kemandirian.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR RI segera membahas RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan guna menyejahterakan nelayan.

"Dari konsultasi publik yang dilakukan FAO (Badan Pertanian Pangan PBB) di Indonesia telah menghasilkan dua poin rumusan perlindungan nelayan tradisional," kata Sekretaris Jenderal Kiara, Abdul Halim, Senin (20/5).

Menurut dia, dua rumusan tersebut antara lain adalah pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana hak asasi manusia dalam hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan hak untuk berbudaya.

Rumusan kedua adalah pedoman perlindungan nelayan tradisional harus mencakup hak-hak nelayan tradisional yang telah dirumuskan melalui instrumen perlindungan nelayan.

Prospek perlindungan nelayan tradisional di Indonesia, ujar dia, mendapatkan momentum penting pada 16 Juni 2011 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang menjadi instrumen kebijakan privatisasi dan komersialisasi perairan pesisir yang terkandung dalam UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.