BPN serap aspirasi penolak rencana pemutihan izin 2,2 juta ha sawit
5 Oktober 2023 23:19 WIB
Prof Basatanul Arifin Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) menjawab pertanyaan wartawan seusai diskusi daring Nagara Institute: Menimbang Putusan Satuan Tugas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit Hidan atau Putih, di Jakarta, Kamis (5/10/2023) (ANTARA/M Riezko Bima Elko P)
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasioal (ATR/BPN) menyerap seluruh aspirasi dari para pelaku usaha kelapa sawit dan pakar pertanian dalam negeri, yang memprotes rencana pemutihan sertifikat izin Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan kelapa sawit total seluas 2,2 juta hektare (ha).
Kementerian ATR/BPN membahas protes dari pelaku usaha kelapa sawit yang tergabung ke beberapa organisasi, dan pakar pertanian bersama, dalam diskusi daring Nagara Institute: Menimbang Putusan Satuan Tugas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit Hitam atau Putih, di Jakarta, Kamis.
“Semua aspirasi diterima, akan disampaikan ke pimpinan kami, dan kemudian akan dibahas Satgas Sawit sesuai kapasitas kami (ATR/BPN),” kata Ketua Koordinator Subdirektorat Penetapan Hak Guna Usaha (HGU) Kementerian ATR/BPN David Kristian.
Dalam diskusi tersebut diketahui bahwa pemutihan izin lahan perusahaan kelapa sawit dengan total seluas 2,2 juta hektare tersebut direncanakan oleh Tim Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.
Lahan perkebunan sawit tersebut terancam diputihkan karena Tim Satuan Tugas menemukan pendiriannya berada di dalam kawasan hutan, namun ternyata belum memiliki Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit.
Terkait hal ini, David menjelaskan, Kementerian ATR/BPN adalah anggota Tim Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Keuangan.
Dalam keanggotaannya, ATR/BPN bertugas sebagai penyedia data-data perusahaan pemegang sertifikat HGU lahan kelapa sawit, untuk kemudian menyandingkan data tersebut dengan izin lokasi, dan kawasan hutan.
Dia menyebutkan, setelah data tersebut didapatkan dan tersandingkan maka kebijakan selanjutnya ditentukan oleh Tim Satuan Tugas yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Terlepas dari situ, ia menegaskan, seluruh sertifikat HGU yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN status lahannya sudah di luar kawasan hutan.
Prof Basatanul Arifin Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) mengatakan, pihaknya bersama dengan para pelaku industri kelapa sawit sangat mendukung inisiasi tata kelola yang dilakukan pemerintah dengan segala tujuan dan manfaatnya untuk memajukan industri kepala sawit dalam negeri.
Namun pihaknya meminta pemerintah untuk objektif dan memperhatikan benar aturan yang digunakan sehingga tidak membingungkan para pelaku industri kelapa sawit.
Menurutnya, sebanyak 2,2 juta hektare lahan tersebut terancam diputihkan oleh Satuan Tugas apabila tidak memenuhi persyaratan bidang kehutanan, paling lambat tanggal 2 November 2023. Dasar hukum pemutihan ini mengacu pada Undang-undang Cipta Kerja Nomor 110 A dan 110 B.
Penggunaan Undang-undang cipta kerja tersebut tidak bisa dilakukan, lanjutnya, karena jauh sebelumnya perusahaan telah mengantongi sertifikat HGU yang menjadi dasar hukum mereka beroperasi memanfaatkan lahan hutan.
“Kami minta Satgas Sawit ini bekerja objektif. Bahwa HGU itu tidak duduk pada UU Cipta Kerja sehingga terjadi multitafsir karena sudah ditetapkan duluan pada UU Agraria tahun 1960,” kata dia.
Kementerian ATR/BPN membahas protes dari pelaku usaha kelapa sawit yang tergabung ke beberapa organisasi, dan pakar pertanian bersama, dalam diskusi daring Nagara Institute: Menimbang Putusan Satuan Tugas Tata Kelola Industri Kelapa Sawit Hitam atau Putih, di Jakarta, Kamis.
“Semua aspirasi diterima, akan disampaikan ke pimpinan kami, dan kemudian akan dibahas Satgas Sawit sesuai kapasitas kami (ATR/BPN),” kata Ketua Koordinator Subdirektorat Penetapan Hak Guna Usaha (HGU) Kementerian ATR/BPN David Kristian.
Dalam diskusi tersebut diketahui bahwa pemutihan izin lahan perusahaan kelapa sawit dengan total seluas 2,2 juta hektare tersebut direncanakan oleh Tim Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.
Lahan perkebunan sawit tersebut terancam diputihkan karena Tim Satuan Tugas menemukan pendiriannya berada di dalam kawasan hutan, namun ternyata belum memiliki Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan hutan untuk sawit.
Terkait hal ini, David menjelaskan, Kementerian ATR/BPN adalah anggota Tim Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Keuangan.
Dalam keanggotaannya, ATR/BPN bertugas sebagai penyedia data-data perusahaan pemegang sertifikat HGU lahan kelapa sawit, untuk kemudian menyandingkan data tersebut dengan izin lokasi, dan kawasan hutan.
Dia menyebutkan, setelah data tersebut didapatkan dan tersandingkan maka kebijakan selanjutnya ditentukan oleh Tim Satuan Tugas yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Terlepas dari situ, ia menegaskan, seluruh sertifikat HGU yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN status lahannya sudah di luar kawasan hutan.
Prof Basatanul Arifin Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) mengatakan, pihaknya bersama dengan para pelaku industri kelapa sawit sangat mendukung inisiasi tata kelola yang dilakukan pemerintah dengan segala tujuan dan manfaatnya untuk memajukan industri kepala sawit dalam negeri.
Namun pihaknya meminta pemerintah untuk objektif dan memperhatikan benar aturan yang digunakan sehingga tidak membingungkan para pelaku industri kelapa sawit.
Menurutnya, sebanyak 2,2 juta hektare lahan tersebut terancam diputihkan oleh Satuan Tugas apabila tidak memenuhi persyaratan bidang kehutanan, paling lambat tanggal 2 November 2023. Dasar hukum pemutihan ini mengacu pada Undang-undang Cipta Kerja Nomor 110 A dan 110 B.
Penggunaan Undang-undang cipta kerja tersebut tidak bisa dilakukan, lanjutnya, karena jauh sebelumnya perusahaan telah mengantongi sertifikat HGU yang menjadi dasar hukum mereka beroperasi memanfaatkan lahan hutan.
“Kami minta Satgas Sawit ini bekerja objektif. Bahwa HGU itu tidak duduk pada UU Cipta Kerja sehingga terjadi multitafsir karena sudah ditetapkan duluan pada UU Agraria tahun 1960,” kata dia.
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Sella Panduarsa Gareta
Copyright © ANTARA 2023
Tags: