Aktivis lingkungan ragu laju eksploitasi hutan berkurang
21 Mei 2013 10:12 WIB
Pemandangan dari udara hutan alami yang terus dirambah di kawasan Kabupaten Merangin, Jambi, Rabu (12/1). Sebagian besar kawasan hutan penyangga di Merangin, mengalami kerusakan parah akibat aktivitas perambahan dan dialihfungsikan menjadi perkebunan. (FOTO ANTARA/Ismar Patrizki)
Sampit, Kalteng (ANTARA News) - Keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2013, terkait perpanjangan moratorium alias penundaaan izin baru di hutan alam dan lahan gambut konservasi, dinilai sulit mengurangi laju eksploitasi hutan.
"Saya pesimis. Dari naskah Inpres yang ada beredar, dapat dilihat bahwa Inpres ini secara prinsip tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, hanya memperpanjang waktu yang hanya sampai dua tahun," kata Nordin, Direktur Save Our Borneo dihubungi dari Sampit, Selasa.
Ia menambahkan, Inpres ini nampaknya lagi-lagi tidak terlalu dapat diharapkan sebagai upaya sangat serius untuk menyelamatkan dan mempertahankan hutan alam dan lahan gambut, dimana Inpres ini hanya menunda pemberian izin baru berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut.
Seperti diketahui, Inpres yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 13 Mei lalu tersebut berisi tentang penundaan pemberian izin baru hutan alam dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung dan produksi untuk jangka waktu dua tahun ke depan.
Menurut aktivis yang pernah menjadi anggota Dewan Walhi Nasional ini, Inpres tersebut bisa menjadi "bom waktu" yang hanya menunggu waktu meledak. Ia khawatir nantinya tetap saja hutan alam dan gambut akan menjadi sasaran ekploitasi dan perubahan fungsi.
Selain itu, Inpres tersebut sama seperti sebelumnya yakni berbasis waktu dan tidak mustahil tidak memuat kondisi-kondisi target yang harus dicapai. Inpres itu juga tidak memuat instruksi tegas untuk mencabut dan membatalkan seluruh izin-izin yang berada dalam kawasan hutan alam dan lahan gambut.
"Artinya inpres ini hanya menunda suatu masalah bukan mencerabut akar masalah. Dugaan saya, masalah ini akan muncul ketika pasca selesainya masa jabatan Presiden SBY selaku penerbit Inpres dan akan memberikan beban politis kepada presiden masa periode selanjutnya," tambahnya.
Kondisi ini, sambung Nordin, kembali menunjukkan bahwa kelompok penghambat moratorium cukup berhasil mengamankan aset lahannya yang sudah berizin dalam kawasan hutan alam primer dan lahan gambut hingga dua tahun ke depan sembari menunggu bergantinya rezim pemerintahan.
"Persoalan penting lain yang tidak terjawab dari Inpres ini adalah bagaimana dengan berbagai perusahaan yang jelas-jelas membuka hutan alam primer dan lahan gambut yang telah menabrak Inpres "seri" sebelumnya? Kenapa tidak ada penindakan yang tegas sebagai pembelajaran, terutama di Kalteng?" pungkas Nordin.
"Saya pesimis. Dari naskah Inpres yang ada beredar, dapat dilihat bahwa Inpres ini secara prinsip tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, hanya memperpanjang waktu yang hanya sampai dua tahun," kata Nordin, Direktur Save Our Borneo dihubungi dari Sampit, Selasa.
Ia menambahkan, Inpres ini nampaknya lagi-lagi tidak terlalu dapat diharapkan sebagai upaya sangat serius untuk menyelamatkan dan mempertahankan hutan alam dan lahan gambut, dimana Inpres ini hanya menunda pemberian izin baru berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut.
Seperti diketahui, Inpres yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 13 Mei lalu tersebut berisi tentang penundaan pemberian izin baru hutan alam dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung dan produksi untuk jangka waktu dua tahun ke depan.
Menurut aktivis yang pernah menjadi anggota Dewan Walhi Nasional ini, Inpres tersebut bisa menjadi "bom waktu" yang hanya menunggu waktu meledak. Ia khawatir nantinya tetap saja hutan alam dan gambut akan menjadi sasaran ekploitasi dan perubahan fungsi.
Selain itu, Inpres tersebut sama seperti sebelumnya yakni berbasis waktu dan tidak mustahil tidak memuat kondisi-kondisi target yang harus dicapai. Inpres itu juga tidak memuat instruksi tegas untuk mencabut dan membatalkan seluruh izin-izin yang berada dalam kawasan hutan alam dan lahan gambut.
"Artinya inpres ini hanya menunda suatu masalah bukan mencerabut akar masalah. Dugaan saya, masalah ini akan muncul ketika pasca selesainya masa jabatan Presiden SBY selaku penerbit Inpres dan akan memberikan beban politis kepada presiden masa periode selanjutnya," tambahnya.
Kondisi ini, sambung Nordin, kembali menunjukkan bahwa kelompok penghambat moratorium cukup berhasil mengamankan aset lahannya yang sudah berizin dalam kawasan hutan alam primer dan lahan gambut hingga dua tahun ke depan sembari menunggu bergantinya rezim pemerintahan.
"Persoalan penting lain yang tidak terjawab dari Inpres ini adalah bagaimana dengan berbagai perusahaan yang jelas-jelas membuka hutan alam primer dan lahan gambut yang telah menabrak Inpres "seri" sebelumnya? Kenapa tidak ada penindakan yang tegas sebagai pembelajaran, terutama di Kalteng?" pungkas Nordin.
Pewarta: Norjani
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013
Tags: