Jakarta (ANTARA News) - Durian montong (bantal emas) lagi ditanam secara massal di PTPN VIII Jawa Barat. Saat ini sudah tertanam 250 hektar, dan akhir tahun nanti sudah menjadi 1.500 hektar.

Tiap tahun jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 3.000 hektar. Maka tiga tahun lagi tidak perlu impor bantal emas itu. (Montong dalam bahasa Thailand berarti bantal emas).

Manggis jenis wanayasa saat ini juga sudah tertanam sebanyak 250 hektar. Seperti juga si bantal emas, akhir tahun ini sudah akan mencapai 1.500 hektar.

Dadi Sunardi, Dirut PTPN VIII memilih jenis wanayasa karena buahnya yang tidak terlalu besar. Pasar internasional tidak menyukai manggis yang terlalu besar. Dengan ukuran yang kecil-kecil, begitu manggis dibuka isinya bisa dikorek dengan sendok teh.

Sambil menunggu pohon-pohon buah tropik tersebut tinggi, Dadi menanam pisang dan pepaya di sela-selanya. Tidak ayal kalau PTPN VIII kini sudah menghasilkan berkontainer-kontainer pepaya dan pisang.

Itu menggambarkan bahwa apa yang dicetuskan tahun lalu di Kementerian BUMN kini sudah mulai menjadi kenyataan. Selama ini kawasan tersebut dipaksa ditanami teh. Padahal ketinggiannya tidak sampai 400 meter di atas permukaan laut.

Dulu, Belanda hanya mau menanam teh di lahan yang ketinggiannya di atas 600 meter. Tapi entah bagaimana di zaman Orde Baru lalu, lahan-lahan PTPN VIII yang di bawah 400 meter pun ditanami teh. Akibatnya PTPN VIII selalu mengalami kerugian ratusan miliar rupiah dari lahan yang ditanami teh secara paksa ini.

Hampir saja saya memutuskan untuk menanam sorgum di lahan-lahan tersebut. Agar PTPN VIII terhindar dari kerugian. Bahkan keputusan sudah dibuat.

Untungnya, Rektor Institut Pertanian Bogor Prof Dr Herry Suhardiyanto segera datang ke Kementerian BUMN bersama para ahli IPB. Rombongan ini membawa ide perlunya penanaman buah tropik secara besar-besaran dengan sIstem korporasi.

Saya langsung menerima ide tersebut. Saking senangnya saya sampai memukul meja keras-keras hari itu. Sampai-sampai Pak Rektor dan para ahli itu kaget. "Ini baru IPB!" Teriak saya sambil memukul meja saat itu.

Saya baru sadar bahwa Indonesia sebagai negara tropis ternyata kurang memperhatikan kemampuannya menghasilkan buah tropik. Buah tropik lebih banyak dihasilkan oleh pekarangan-pekarangan rumah. Saking kecilnya produksi buah tropik sampai-sampai kita menyebutnya sebagai barang yang eksotik. Dan kita bangga dengan sebutan itu. Padahal dengan gelar eksotik berarti jumlahnya sangat sedikit.

Itulah sebabnya mengapa kita diserbu buah impor besar-besaran. Ketua Ikatan Alumni IPB, Dr Said Didu, menyebut impor buah kita mencapai Rp 17 triliun setahun. Belum lagi bicara potensi yang bisa kita ekspor mengingat negara seperti Tiongkok yang berpenduduk 1,3 miliar orang, tidak bisa memproduksi buah tropik.

Sebagai negara empat musim Tiongkok hanya bisa memproduksi jenis buah-buah tertentu. Akan sangat lebar peluang kita untuk mengekspor buah tropik ke Tiongkok. Dengan demikian banjirnya buah dari Tiongkok akan kita imbangi dengan banjirnya buah tropik di Tiongkok.

PTPN XII di Jatim juga sudah memulai. Pisang, pepaya, melon emas, dan kacang makadamianya sudah mulai menghasilkan. Singgih Irwan Basri, Dirut PTPN XII mengatakan akan terus menanam buah tropik di lahannya yang mencapai 60.000 ha. Di samping menanam sorgum di tanah-tanah marginalnya. Tahun ini tanaman sorgumnya sudah bisa mencapai 3.000 hektar. Irwan juga bergerak cepat sehingga soal sorgum dan tanaman buah tropik yang baru digagas tahun lalu sudah mulai terlaksana di lapangan.

Pengalaman seorang praktisi di Jateng, Pratomo, tanaman buah tropik benar-benar harus digalakkan di Indonesia. Setelah terjun ke buah tropik sejak lima tahun lalu, Pratomo menyimpulkan tanahnya menghasilkan di tas Rp 100 juta per tahun per hektar. Tidak ada yang di bawah Rp 100 juta. Bandingkan dengan hasil tanaman tebu, padi, dan palawija.

Di antara tanaman-tanaman buah tropik itu, menurut Pratomo, buah naga yang hasilnya paling besar. Bisa mencapai Rp 150 juta per hektar tahun. Durian menduduki ranking kedua dengan Rp 130 juta per hektar per tahun. Kelengkeng, seperti jenis itoh, bisa menghasilkan Rp 120 juta per hektar tahun. Bandingkan dengan karet yang hanya sekitar Rp 20 juta per hektar per tahun.

Syaratnya, tanaman buah tropik tersebut ditanam dengan sistem yang benar, dipupuk dengan benar, dan dirawat dengan benar. Bukan dibiarkan tumbuh apa adanya seperti pohon buah milik perorangan yang ada di pekarangan-pekarangan. Kelengkeng itoh, misalnya, satu pohon bisa menghasilkan 150 kg. Buahnya kesat, kadar manisnya mencapai 22, dan tidak mudah berubah coklat.

Salah satu bentuk perawatan yang diperlukan adalah memperbaiki sistem pengairannya. Terutama untuk musim kemarau. Pratomo selalu membuat kolam di puncak bukit. Kolam itu dilapisi membrane. Di musim hujan, kolam seluas 40 x 60 meter tersebut menampung air hujan.

Air itulah yang dialirkan melalui pipa-pipa kecil ke pohon-pohon di sekitarnya tanpa biaya pompa karena kolamnya berada di lokasi paling tinggi. Setiap kolam bisa mengairi 20 hektar tanaman buah tropik selama musim kemarau.

Pekan lalu IPB mengadakan acara besar untuk menandai dimulainya gerakan menanam buah tropik dengan sistem korporasi ini. Di situ diadakan pameran buah tropik yang menyajikan penemuan-penemuan varitas baru.

BUMN akan menangkap semua pemikiran dan penemuan yang ditelorkan oleh IPB itu. Revolusi oranye bisa dimulai oleh IPB. Setelah PTPN VIII dan PTPN XII, yang lain pun termasuk yang di Sumut dan Jateng akan segera mengikutinya.

Indonesia adalah negara tropis yang sangat besar. Harus menjadi penghasil buah tropik yang terbesar pula. Dalam waktu yang tidak terlalu lama.(*)