"Kimia Farma sudah mulai memproduksi bahan baku dan terus didorong. Jadi karena baru investasinya, otomatis modalnya tinggi. Butuh waktu memang, tapi lama kelamaan setelah produksinya banyak, biayanya turun, kita pasti bisa bersaing untuk produksi bahan baku dari negeri sendiri," kata Hesty dalam diskusi di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, wajar apabila selama ini industri manufaktur di Indonesia membeli bahan baku dari luar karena lebih murah, namun pemerintah mulai sadar sejak COVID-19, bahwa Indonesia tidak memiliki industri bahan baku sehingga harus mandiri.
"Pemerintah mulai mendorong dengan kebijakan minimal persentase Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Ketika rumah sakit membeli obat, mereka harus mengutamakan yang ada komponen TKDN untuk bahan baku lokal," ucapnya.
Menurutnya, produksi obat di Indonesia sudah teregulasi dengan baik dan berlapis, dengan ketentuan cara pembuatan obat yang baik.
Baca juga: Mendag dukung kemandirian Indonesia penuhi kebutuhan bahan baku obat
"Suatu obat enggak akan ada yang dilepas di pasaran kalau dia tidak memenuhi syarat obat yang baik dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kan percontoh terus, apakah standarnya memenuhi mutu atau tidak," paparnya.
Untuk mendirikan industri bahan baku obat dalam negeri yang mandiri dan berkelanjutan, kata dia, diperlukan kerja keras dan upaya lintas sektor melalui BPOM dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Baca juga: Program subtitusi bahan baku impor sentuh 38 industri farmasi RI
Saat ini industri bahan baku obat nasional sudah dapat memproduksi delapan dari 10 bahan baku obat yang paling banyak digunakan di Indonesia, yaitu parasetamol, omeprazol, atorvastatin, clopidogrel, amlodipine, candesartan, bisoprolol, dan azitromisin.
Untuk mendorong penggunaan bahan baku obat produksi dalam negeri, pemerintah memfasilitasi pergantian sumber bahan baku impor dengan bahan baku obat produksi dalam negeri untuk industri farmasi.
Baca juga: BPOM minta industri gunakan bahan baku dengan mengedepankan 3R