Di beberapa provinsi, kata dia, paradoks demokrasi berujung politik kekuasaan kental terjadi. Di Banten, sebagai contoh, demokrasi menjadi alat dari pemilik modal untuk berkuasa karena ada beberapa keluarga menjadi penguasa di sana.
Menurut Nainggolan, seharusnya esensi demokrasi merupakan keterlibatan publik dalam setiap pembangunan ekonomi, politik, dan hukum. Namun dia menilai saat ini partisipasi publik dikesampingkan dan digunakan alat bagi pemilik modal.
"Menurut saya, selama ini kekuasaan republik ada di tangan pemilik modal. Mereka memberi uang untuk mengamankan bisnis," ujarnya.
Dia menilai supremasi hukum harus ditegakkan, sehingga tidak runcing kepada masyarakat bawah tetapi tumpul ke atas. Menurut dia, apabila saat ini banyak koruptor yang ditangkap dibandingkan era Orde Baru kemungkinan karena diperlukan banyak dana untuk demokrasi.
"Keberadaan KPK menggetarkan penyelenggara negara, namun semakin banyak koruptor seperti virus. Mungkin karena dalam pelaksanaan demokrasi memerlukan banyak uang," katanya.
Satu paket dengan berdemokrasi, dia menilai paradoks pertumbuhan ekonomi juga terjadi. "Pertumbuhan ekonomi saat ini menganut prinsip trickle down effect yang membuat kaya orang sudah memiliki harta banyak namun menyengsarakan masyarakat kelas bawah," katanya.
"Indonesia harus tegas dalam penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi. Kita dihadapkan pada pilihan ekstrem, apakah kejaksaan dan kepolisian tidak mengurusi korupsi lalu diberikan kepada KPK," kata dia.
(I028/H-KWR)