"Investigasi ini dilakukan pada bulan April tahun ini, yang menunjulkan pembabatan perusahaan suplier APP di Kabupaten Indragiri Hilir," kata Editor Eof, Afdhal Mahyudin, di Pekanbaru, Kamis.
EoF merupakan koalisi gabungan tiga LSM, yakni WWF, Jikalahari, dan Walhi. Mahyudin mengatakan para investigator EOF mengamati sejumlah ekskavator menebangi pohon-pohon di hutan alam di konsesi PT Riau Indo Agropalma (RIA), pemasok kayu, di blok Kerumutan yakni habitat harimau sumatera yang kritis terancam punah.
Hariansyah Usman dari Walhi Riau mengatakan, kondisi itu bertolak belakang dengan kebijakan APP dari Sinar Mas Group yang menyatakan moratorium terhadap penebangan hutan alam di Provinsi Riau.
Ia mengatakan APP belum menyelesaikan kajian Nilai Konservasi Tinggi dan Stok Karbon Tinggi, maupun kajian pakar gambut, dimana perusahaan telah mengatakan sebagai prasyarat dimulainya kembali operasi pengembangan apapun. Di lain sisi, perusahaan tetap menerima kayu dari suplier mereka yang menebangi hutan alam.
"Adalah penting apa yang terjadi di lapangan, bukan yang tampak di kertas-kertas pemasaran," katanya.
"Adalah penting apa yang terjadi di lapangan, bukan yang tampak di kertas-kertas pemasaran," katanya.
Humas Sinar Mas Forestry, Nurul Huda, ketika dikonfirmasi mengatakan APP masih tetap berkomitmen melakukan moratorium. Mengenai laporan investigasi EoF, ia menilai hal itu merupakan keliru karena kayu yang masuk dari perusahaan pemasok adalah dari izin rencana kerja tahunan (RKT) sebelum berlaku moratorium.
"Itu sisa tebangan darai RKT yang sudah lama berjalan, dan kami tetap komitmen untuk moratorium dengan tidak ada lagi melakukan penebangan kayu alam," kata Huda.
(F012)
"Itu sisa tebangan darai RKT yang sudah lama berjalan, dan kami tetap komitmen untuk moratorium dengan tidak ada lagi melakukan penebangan kayu alam," kata Huda.
(F012)