Jakarta (ANTARA) - Ketua Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda menyatakan bahwa transformasi kesehatan untuk semua kalangan masyarakat juga perlu memperhatikan kelompok rentan.

"Implementasi dari segi kesetaraan dan keadilan masih perlu ditingkatkan, bagaimana kesehatan tidak hanya untuk sekelompok populasi yang mudah mengakses, tetapi juga kelompok-kelompok lain yang suaranya masih kecil dan tertinggal," kata Olivia pada diskusi publik kesehatan dan hak asasi manusia di Jakarta, Jumat.

Ia menegaskan, prinsip kesehatan untuk semua perlu melibatkan seluruh masyarakat tanpa melihat status ekonomi, agama, dan lain sebagainya.

"Siapa pun harus bisa mengakses layanan berkualitas tanpa hambatan apa pun, saat COVID-19 bisa kita lihat masih ada hambatan administratif, geografis, dan informasi bagi kelompok rentan," ujar dia.

Ia menjelaskan, saat pandemi COVID-19, CISDI melakukan kajian kepada kelompok rentan, dan ditemukan ada hambatan geografis, administratif, infrastruktur, stigma dan diskriminasi yang akhirnya menghambat berbagai kelompok untuk mengakses layanan kesehatan.

"Masyarakat adat, misalnya, mereka memiliki kendala administratif, informasi, dan geografis, karena mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), jadi kesulitan mendapatkan akses layanan kesehatan yang setara," paparnya.

Baca juga: Bappenas sebut transformasi kesehatan modal bangun SDM maju di 2045
Baca juga: 6.196 penduduk Suku Badui peroleh akses JKN
Ia menyebutkan, pemerintah juga sudah mengakui bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia, yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945.

"Itu juga sudah diterjemahkan secara konkret oleh pemerintah dengan adanya jaminan kesehatan nasional, layanan kesehatan primer, dan bisa dengan mudah kita akses, tetapi seharusnya bisa didorong juga agar kelompok rentan bisa mengakses layanan kesehatan yang setara," ucapnya.

Sementara, Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI Dr. Ir. Taufik Hanafi menyatakan bahwa ada lima upaya transformatif yang dilakukan pemerintah di bidang kesehatan.

"Transformasi pertama yakni jaminan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (0-2 tahun) untuk penurunan stunting," kata Taufik.

Ia menekankan pentingnya pemenuhan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan ini karena merupakan jendela emas perkembangan fisiologi manusia sehingga pada periode tersebut perlu dijamin tumbuh kembang yang baik.

Baca juga: Kemenkes lakukan skrining kesehatan pekerja setahun sekali
Baca juga: 23.911.772 peserta JKN telah lakukan skrining riwayat kesehatan

Transformasi kedua yakni perluasan investasi pelayanan kesehatan primer sampai tingkat desa dan kelurahan, termasuk kelembagaan kader kesehatan.
Transformasi ketiga, yakni pemenuhan jumlah dan jenis tenaga medis serta tenaga kesehatan berkualitas, kompeten, dan responsif sesuai kondisi wilayah.

"Ada 57,47 persen Puskesmas tidak tersedia sembilan jenis tenaga kesehatan (nakes) sesuai standar, 20,08 persen rumah sakit umum daerah kelas c belum memiliki tujuh dokter spesialis dasar dan penunjang, dan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang terakreditasi baru 44 persen," ujar dia.

Kemudian, lanjut dia, transformasi keempat yakni restrukturisasi urusan dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah di bidang kesehatan, termasuk skema pembiayaan dan pengelolaan tenaga medis serta nakes.

Transformasi kelima, yakni pembangunan kesehatan yang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, daerah, organisasi non-pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dengan memperhatikan dinamika sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, perdagangan, industri, pangan, dan lingkungan.

Baca juga: IPMG Dorong Transformasi Kesehatan dan Penguatan Ekonomi Indonesia
Baca juga: Kemenkes paparkan capaian Transformasi Kesehatan sebagai kado HUT RI