Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak menyebutkan pemerintah dan DPR harus hati-hati terhadap klausul "power wheeling" dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).

Menurut dia, klausul tersebut sudah di-drop pada awal tahun 2023 ini, dan sempat muncul lagi tiga bulan berikutnya, sehingga disinyalir ada pelaku listrik swasta yang memaksa memasukkan dalam draf RUU EBET.

"Power wheeling" merupakan mekanisme yang dapat mentransfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung.

"Ini ada yang memaksakan. Ada pemain swasta yang tetap menghendaki klausul 'power wheeling' masuk dalam RUU EBET,” kata Ali Ahmudi Achyak dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Dalam sejarah pembahasan RUU, lanjutnya, selalu ada pihak-pihak yang menginginkan dimasukkannya klausul "power wheeling" tersebut.

Baca juga: Pakar: Indonesia butuh payung hukum khusus untuk energi terbarukan

Baca juga: Energi nuklir jadi opsi untuk capai target netralitas karbon


"Dulu saat pembahasan draf RUU Energi sudah ditolak, ini di pembahasan RUU EBET masih berusaha dimasukkan lagi," katanya.

Dia menegaskan bahwa pemerintah sudah tidak memerlukan lagi skema "power wheeling". Pemerintah telah menetapkan RUPTL periode 2021-2030 yang di dalamnya sudah mengakomodasi pembangkit EBT dengan kapasitas yang signifikan yaitu 20,9 GW atau 51,6 persen dari total penambahan pembangkit.

“Di mana porsinya lebih besar dibandingkan pembangkit fosil," kata Achmudi dalam diskusi Publik "Pro Kontra Power Wheeling Dalam Rangka RUU EBET" yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia.

Dengan demikian, tambahnya, tidak ada lagi urgensi penerapan skema "power wheeling", apalagi akan dipaksakan masuk ke dalam RUU EBET, apalagi tanpa skema Power Wheeling program itu tetap berjalan baik.

Baca juga: Kementerian ESDM sebut RUU EBET masih dibahas

Baca juga: APLSI: "Power wheeling" berpotensi tarik investasi meski kontroversial