Magelang (ANTARA) - Saat sejumlah pegiat seni budaya Kota Magelang, Jawa Tengah, masih berbincang-bincang di halaman Lokabudaya Soekimin Adiwiratmoko, selepas pembukaan pameran bertajuk "Romansa Radio", Kamis (28/9) petang, azan maghrib dari Masjid Agung Kauman di daerah itu, berkumandang.

Masjid Agung Kauman terletak di barat Alun-Alun Kota Magelang, sedangkan bangunan cagar budaya yang kemudian menjadi lokabudaya, markas aktivitas seni dan budaya para pegiat daerah itu dan sekitarnya, berada di sekitar pojok selatan alun-alun tersebut.

Beberapa di antara mereka bergegas meninggalkan tempat itu begitu azan terdengar, sejumlah lainnya masih riungan sambil menyapa orang-orang yang datang untuk menyaksikan pameran selama empat hari tersebut, didukung sejumlah agenda lain beratmosfer budaya.

Tentu saja, mereka, selain membincangkan pameran macam-macam radio lawas itu, juga hal ikhwal lain secara sepotong-potong, saling menimpali sambil bergojek dan tanpa juntrungan, salah satunya tentang sampah.

Penyair Kota Magelang Hudi DW (58) mendapat jatah membaca puisi saat pembukaan pameran itu. Dengan mengenakan surjan motif lurik, ia sajikan dengan apik dan ringan dicerna puisi berjudul "Sampah". Puisi itu dia tulis pada 29 Agustus 2022.

Kesannya, ungkapan tentang barang bekas pakai atau sisa pemakaian manusia berada di mana-mana, mendominasi bait-bait teks puisi "Sampah", meskipun sederet kalimat, berulang hingga tiga kali, hendak mengaitkan juga tentang persoalan sampah secara audio dan visual.

"Ooooo.... Sumpah serapahku pun menjadi sampah," demikian kalimat puisi itu yang boleh jadi representasi "sampah" menyengat gendang telinga dan pelupuk mata.

Melalui sederet kalimat tersebut, penyair yang masa lalunya menjadi pegiat pelestarian lingkungan di Jawa Timur (1985-2002) dan konservasi satwa di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (2003-2012) itu, tampaknya hendak mengategori ragam polusi juga sebagai sampah.

Sebelum membacakan karyanya, ia mengungkapkan pertanyaan tentang kaitan pameran "Romansa Radio" dan puisi "Sampah". Siapapun yang hadir dalam acara itu tak menjawab pertanyaan tersebut, demikian pula penyair berambut putih dan gondrong itu.

Radio lawas, baik berupa radio tabung maupun radio transistor, sudah jarang digunakan publik zaman kekinian. Radio lawas menyimpan kenangan melekat di publik, sedangkan wujudnya yang macam-macam, saat ini menjadi tampak antik.

Penyelenggara pameran merumuskan pameran radio lawas dalam tema "Romansa Radio", kira-kira hendak mengajak publik mengenang peranan penting radio tabung dan transistor pada masa lalu melalui berbagai programnya.

Pada era kemajuan teknologi informasi ini, tetap saja ada sebagian publik memanfaatkan peranan perangkat dengan penemunya pada 1895 seorang fisikawan Italia, Guglielmo Marconi (1874-1937) itu, dalam format radio digital.

Dalam perbincangan sejumlah pegiat seni budaya Kota Magelang, usai pembukaan acara itu, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Muhammad Nafi memastikan benda berupa radio model lampau yang kebanyakan telah tak lagi dipakai masyarakat tersebut, bukan kategori sampah, namun jejak penting peradaban dunia.


Persoalan publik

Sampah dalam pengertian umum memang menjadi persoalan publik, seiring dengan pertumbuhan penduduk, kemajuan suatu wilayah, dan perkembangan kehidupan masyarakat.

Setiap manusia, bahkan mau tidak mau harus mengakui menjadi produsen sampah, sekaligus menolaknya, antara lain karena sampah mengesankan keadaan jorok, kumuh, sumber penyakit, mencemari lingkungan, dan stigma atas wilayah. Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dengan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2023 yang jatuh pada 21 Februari, produksi sampah setiap orang per hari rata-rata 0,7 kilogram.

Akan tetapi, manusia kemudian secara kreatif dan inovatif terpanggil untuk menangani dan mengelola sampah secara optimal. Bahkan, tersebar ungkapan populer untuk memantik kehendak publik agar mengolah sampah menjadi berkah, sebagaimana penyair Hudi mengharapkan puisi "Sampah" itu menjadi berkah.

Kesadaran manusia terhadap penanganan sampah menunjukkan hidupnya bermutu, sedangkan mereka yang abai pada sampah, boleh jadi dianggap kualitas hidupnya rendah.

"Bapak, ibu, tuan, dan nyonya. Jangan lagi kau tebar serakan sampah. Kakak dan adik. Jangan lagi kau tebar serakan sampah," begitu satu bait lainnya puisi "Sampah" yang sedemikian terasa kental mewakili pesan mendasar atas makna menolak sampah.

Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK mencatat hasil penginputan data 303 kabupaten/kota di Indonesia pada 2022, yakni timbulan sampah sekitar 35,930 juta ton per tahun, pengurangan sampah 5,425 juta (15,1 persen), penanganan sampah 17,028 juta (47,39 persen), sampah terkelola 22,454 juta (62,49 persen), dan sampah tidak terkelola 13,476 juta (37,51 persen).

Sistem itu juga mencatat komposisi sampah berdasarkan jenisnya, antara lain sisa makanan (40,5 persen), kayu, ranting, dan daun (13,2), kertas/karton (11,3), plastik (17,9), dan lainnya (7,1). Komposisi sampah berdasarkan sumbernya, antara lain rumah tangga (38,4), pasar tradisional (27,7), pusat perniagaan (14,4), dan kawasan (6,2).

Sejumlah persoalan terkait dengan sampah yang sering mengemuka, antara lain menyangkut kapasitas dan pengelolaan tempat penampungan sementara (TPS), tempat pengolahan sampah terpadu (TPST), tempat penanganan akhir (TPA).

Selain itu, ketercukupan dan keandalan sarana pengangkutan sampah dari lapangan, jumlah petugas penanganan sampah dengan dukungan untuk kualitas kerja, pentingnya budaya penanganan sampah sejak tingkat basis, serta penerapan temuan teknologi pengelolaan dan pengolahan sampah.

Pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah terus memperkuat upaya pengelolaan sampah, seperti terobosan KLHK menerapkan skema pengelolaan sampah dengan pengembangan elaborasi prinsip dasar 3R, yakni "reduce" atau mengurangi, "reuse" atau penggunaan kembali, dan "recycle" atau mendaur ulang sampah.

Pentingnya tiga prinsip itu, untuk mengoptimalkan peranan rantai nilai pengelolaan sampah di sumber dengan pemanfaatan teknologi dan peningkatan fasilitas pengolahan sampah secara profesional serta terintegrasi.

Teroboson kebijakan yang telah dilakukan di tingkat daerah itu untuk mengubah pola penanganan sampah model lama yang sebatas mengumpulkan sampah dari tingkat basis, lalu mengangkut ke tempat pembuangan, menjadi pengelolaan sampah agar memiliki nilai manfaat lagi.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun KLHK mencatat bahwa sampah bukan lagi barang bekas atau sesuatu yang dibuang begitu saja karena telah dianggap tidak berguna, akan tetapi sampah harus dikelola terlebih dahulu secara optimal, sehingga memiliki nilai ekonomi.

Nilai modal sosial cukup digdaya telah tertaut secara turun-temurun berupa kesadaran kolektif atas karakter masyarakat Indonesia untuk cawe-cawe demi kemaslahatan bersama dan liyan, termasuk dalam hal penanganan sampah.

Karena menolak sampah bukan tindakan orang per orang ataupun langkah parsial untuk emoh terhadapnya, namun secara bergotong royong menjadi gerakan mengelola dan mengolah sampah menjadi bernilai lagi.