Kiruna, Swedia (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat dan Rusia, John Kerry serta Sergei Lavrov, bertemu pada Selasa (14/5) larut malam untuk berdiskusi terkait perang di Suriah dan rencana perundingan damai internasional, kata salah seorang pejabat senior di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS.

Kerry memperbarui info kepada lawan diskusinya berkaitan dengan keikutsertaan pihak pemberontak Suriah serta pejabat beberapa negara dalam perundingan dan rencananya untuk menghadiri pertemuan di Yordania pada pekan mendatang jelang perundingan damai internasional, ujar pejabat senior Kemlu AS.

Rusia merupakan sekutu setia Presiden Bashar al-Assad, dengan menolak penjatuhan sanksi terhadap Suriah oleh PBB serta diketahui memasok senjata kepada pihak pemerintah berkuasa.

Kerry sebelumnya sempat mengatakan ia berharap perundingan damai untuk dilangsungkan pada Juni serta membantah sejumlah laporan rencana ketidakhadiran pemerintah Damaskus.

Menteri Informasi Suriah, Omran Zuabi, sebelumnya terlebih dulu mengatakan pemerintahan Presiden Bashar, yang memerangi kekacauan dengan potensi menyebar ke negara-negara tetangga, menginginkan keterangan lebih jelas terkait perundingan itu sebelum memutuskan untuk ambil bagian atau tidak.

Reuters melaporkan Kerry menyambangi Swedia dalam rangka pertemuan Dewan Arktik, sebuah kelompok beranggotakan delapan negara di kawasan tersebut.

Kerry sempat mengatakan penentuan waktu yang tepat untuk memulai negosiasi damai berada di tangan PBB, namun ia berharap tidak akan dilangsungkan pada awal Juni, mengingat belum ada langkah besar tertempuh.

"Saya sudah berbicara dengan hampir setiap menteri luar negeri di antara negara-negara inti yang akan bertemu pekan depan guna menentukan rencana spesifik dalam negosiasi ini. Para anggota kelompok oposisi juga sudah dihubungi," ujar dia.

Pada konferensi pers yang ia lakukan di awal acara, Kerry mengulang pernyataan pemerintahan Obama yang mendambakan penyelesaian damai untuk perang sipil berusia dua tahun tersebut, yang telah menewaskan hampir 82.000 korban jiwa sementara pihak oposisi memperkirakan keadaan dan destabilisasi tersebut bisa mengalami eskalasi dan meluber ke Timur Tengah.

Mundurnya Presiden Bashar merupakan tuntutan utama pihak oposisi semenjak revolusi dimulai dan sejumlah inisiatif perdamaian yang muncul sebelumnya gagal menemukan kesepakatan soal peran bagi sang presiden di masa yang akan datang.
(G006)