Purwakarta (ANTARA) - Hasil survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan elektabilitas Prabowo Subianto mengungguli jauh dua calon presiden potensial lainnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo di Jawa Barat.

Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA, Toto Izul Fatah, dalam keterangannya yang diterima di Purwakarta, Jawa Barat, Kamis, mengatakan bahwa Prabowo masih kokoh memimpin elektabilitas, baik dalam simulasi perorangan maupun pasangan.

Survei itu memotret preferensi pemilih warga Jawa Barat terhadap calon presiden, calon wakil presiden, dan partai politik.

Kegiatan survei dilakukan dari tanggal 10-19 September 2023 dengan menggunakan metode "multistage random sampling" dengan jumlah responden standar 440 melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner dengan "margin of error" 4,8 persen.

Untuk perorangan, katanya, Prabowo unggul 46,1 persen. Namun, pada saat berpasangan dengan Erick Tohir, turun 3 persen menjadi 43,4 persen.

Di urutan kedua, Anies Baswedan unggul di atas Ganjar Pranowo dengan 29,3 persen. Sama dengan Prabowo, saat Anies berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, juga turun 4 persen menjadi 25,5 persen.

Sementara Ganjar, sesuai dengan hasil survei itu, harus puas di posisi ketiga dengan elektabilitas 18,4 persen.

Hal yang menarik, kata Toto, meski Ganjar masih di posisi nomor urut 3, saat dibuat simulasi berpasangan dengan Ridwan Kamil, elektabilitasnya naik dari 18,4 persen menjadi 24,8 persen. Begitu juga saat Ganjar berpasangan dengan Sandiaga Uno, naik menjadi 20,0 persen.

Toto membandingkan jika merujuk pada data Survei LSI Denny JA setahun sebelumnya atau pada Februari 2022, ketiga capres potensial ini memang sama-sama mengalami kenaikan. Prabowo, naik dari 26,0 persen ke 46,1 persen. Kemudian Anies dari 17,3 persen ke 29,3 persen dan Ganjar, dari sebelumnya 7,8 persen menjadi 18,4 persen.

Baca juga: Survei New Indonesia: Elektabilitas PDIP-Gerindra makin ketat
Baca juga: Survei: Prabowo unggul dalam simulasi dua dan tiga capres


Menurut Toto, dari hasil analisis kualitatif, keunggulan Prabowo di posisi nomor satu karena sudah pernah bertarung sebagai capres pada pemilu sebelumnya, dimana dia memang sudah unggul di Jawa Barat. Kedua, karena mesin partai Gerindra juga sudah relatif bergerak.

"Ditambah lagi ada pergerakan Dedi Mulyadi yang cukup massif dan all out mengampanyekan Prabowo dengan serangkaian event budayanya di sejumlah titik di Jawa Barat," katanya.

Ia menyebutkan kalau Dedi juga membawa gerbong pemilih dari yang sebelumnya Golkar sekarang mendukung Prabowo yang mendukungnya saat dia sekarang hijrah ke Gerindra.

Adapun dua capres lainnya, Anies dan Ganjar, dukungan menaik lebih karena mulai massifnya aneka atribut ruang publik seperti spanduk, banner dan stiker. Termasuk, sejalan dengan makin luasnya pengetahuan publik di Jabar terhadap nama-nama para capres. Terutama, lewat aneka platform sosmed.

Sementara itu, untuk partai yang dipimpin Prabowo, yakni Gerindra, sesuai dengan hasil survei itu telah berhasil menyalip PDI Perjuangan ke posisi nomor satu.

Terkait dengan elektabilitas partai, Gerindra dengan 18,2 persen telah berhasil menyalip PDIP yang sebelumnya 18,8 persen tergusur ke peringkat ketiga menjadi 15,7 persen.

Urutan nomor kedua, diduduki Golkar dengan 16,8 persen, PKS 10,2 persen, PKB 6,1 persen, PAN 5,5 persen, Demokrat 4,8 persen, Nasdem 3,9 persen, PPP 2,3 persen dan Perindo 1,4 persen. Sementara partai lainnya, Partai Ummat, PSI, PBB dan Garuda masih dibawah 1 persen.

Dalam analisis kualitatif sementara, kenaikan Gerindra ini selain karena mulai bergeraknya mesin partai, juga disumbang oleh faktor personal Prabowo yang unggul sebagai capres di Jawa Barat. Tepatnya, Gerindra termasuk partai yang berhasil mendapat berkah elektabilitas dari coat-tail effect (efek ekor jas) Prabowo.

Adapun kenaikan Golkar, dari sebelumnya peringkat ke 3 dengan 14,7 persen naik ke peringkat kedua dengan 16,8 persen, salah satunya, diduga ada faktor Ridwal Kamil yang semakin diketahui publik telah resmi menjadi kader Golkar.

“Tentu itu salah satu faktor saja. Karena survei ini lebih bersifat kuantitatif, bukan kualitatif. Mungkin perlu FGD untuk mengetahui pastinya. Yang jelas, faktor penyebabnya tidak tunggal. Apalagi, dalam tiga empat bulan ke depan peta politik masih sangat dinamis,” katanya.